Senin, 25 Mei 2009

MUNAZARAH


Munazarah adalah forum perdebatan umum yang menguji kekuatan teori dan pandangan seorang ilmuwan. Salah sat kebanggaan seorang ilmuwan (profesor) adalah apabila ia bisa terlibat dalam forum seperti itu; berhadapan dengan ilmuwan-ilmuwan lain. Dalam konteks akademik, dengan demikian, munazarah merupakan bentuk kebebasan bagi setiap pendukung komunitas akademik; baik profesor ataupun mahasiswa; untuk menguji teori-teori yang diajarkan; yang sekaligus melatih keterampilan dialektika dan logika. Dengan kata lain, munazarah, sebagai salah satu metode skolastik, tidak saja berarti cara dalam menyampaikan pandangan, tetapi juga menjadi pola berpikir untuk menyusun pandangan-pandangan itu.

Perkembangan munazarah diawali dengan adanya perbedaan atau pembangkangan (khilaf), yang kemudian mendorong dilangsungkannya pembahasan dan pemecahan dialektika (jadal). Dalam berbagai bidang studi, terutama hukum Islam, faktor-faktor itu selalu muncul dalam proses ijtihad, menuju ijma’ (konsensus) yang diperlukan kalangan awam. Diawali dengan kalangan terakhir ini yang mencari kepastian hukum (mustafti), proses ijtihad dimulai oleh kalangan mufti. Sebelum menentukan pilihannya sendiri (taqlid), mustafti mengumpulkan sebanyak mungkin pendapat para mufti sampai akhirnya ia secara bebas dapat menentukan sikapnya yang sesuai dengan tingkat pemikirannya. Fungsi munazarah dalam konteks ini menjadi forum yang melayani kebutuhan kalangan awam di tengah perbedaan pendapat yang beraneka ragam, untuk menghindari kemungkinan manipulasi kepastian hukum.

Praktek munazarah bisa diselenggarakan di mana saja; di masjid, di istana, atau di lapangan terbuka. Para profesor biasa menyelenggarakan forum munazarah secara teratur dengan mahasiswa dan masyarakat umum. Konon, di istana Harun al Rasyid, Imam Malik dalam lingkaran studinya, melaksanakan munazarah yang menghadapkan mahasiswanya, Utsman bin Isa bin Kinani (meninggal 181/797) dengan Abu Yusuf. Karena kemampuannya, menjelang kepergian Imam Malik, Utsman dipercaya untu menjadi profesor dalamm lingkaran studi milik seorang pemimpin madzhab itu. Munazarah seringkali diselenggarakan dalam rangka latihan untuk mempertajam pemikiran dan membangun argumentasi yang kuat. Dua orang ulama hanafiyah, Abu Abd Allah al Jurani (meninggal 398/1008) dan Abu bakar al Razi (meninggal 370/981), misalnya, biasa menyelenggarakan munazarah bersama. Hal serupa juga dilakukan oleh dua ulama syafiiyah, Ibnu Suraij dan Zahiri Abu Bakar bin Dawud.

Begitu biasa praktek munazarah dalam tradisi intelektual Islam klasik, sehingga banyak peristiwa yang dirayakan dengan melaksanakan bentuk kegiatan ilmiah itu: seperti pada peristiwa kenegaraan, pada saat krisis setelah kepergian sang profesor, dan pada saat pengukuhan profesor baru. Dalam peristiwa itu, banyak ilmuwan besar hadir dan terlibat dengan serius, dan penyelenggaraannya biasa berlangsung dari sore hingga tengah malam. Bagi para mahasiswa, forum-forum seperti itu merupakan kesempatan mengikuti perkembangan keterampilan munazarah itu sendiri, di samping untuk memperluas wawasan pandangan mereka.

Pada suasana panas yang tidak terkendali, munazarah tidak jarang mengarah pada kekacauan dan keributan fisik. Idealnya memang, munazarah dilaksanakan dengan yang setiap pelakunya dapat menghadapi lawan bicaranya dengan berani dan penuh argumentasi. Untuk memberikan ketentuan-ketentuan yang ideal itu, dalam khazanah linteratur klasik banyak karya yang menjelaskan tentang metode perdebatan ini. Al Zarnuji misalnya memasukkan munazarah sebagai salah satu metode dalam belajar dengan beberapa persyaratan; antara lain harus dengan sifat bijak dan dengan pelaku yang memang menguasai ilmu yang diperdebatkan.

Secara umum, munazarah telah menyediakan jalan berpikir bagi kalangan akademik. Setidak-tidaknya ada enam aspek dalam proses munazarah: (1) penguasaan tesis dan tesis balasan, dalam hal ini adalah pendapat-pendapat madzhab yang dianut, juga yang ditentang; (2) penguasaan argumen, atau dalil, yang mendukung pendapatnya; (3) kemampuan untuk menolak argumen lawan; (4) kemampuan untuk memberikan respon atas penolakan dari lawan; (5) penguasaan argumen bayangan dalam kaitannya dengan tesis balasan; dan (6) memberikan respon untuk menolak argumen bayangan lawan. Dalam prakteknya munazarah seperti ini tidak hanya tampak dalam forum-forum lisan, tetapi juga dalam bentuk tulisan, yang dalam proses belajar, para mahasiswa biasa dilatih untuk mencatat semua argumen ayng berkembang dalam munazarah lisan. Dalam literatur-literatur klasik banyak dijumpai penyajian materi ala munazarah ini.

Akhirnya, siginifikansi munazarah sebagai metode skolastik Islam terletak pada fungsinya untuk mendukung pertanggungjawaban kalangan akademik dalam mempublikasikan hasil penelitian dan pemikirannya. Meskipun pada asal muasalnya, perkembangan munazarah merupakan konsekuensi dari masuknya tradisi filsafat Yunani kuno ke dalam bidang kalam, tetapi dalam perkembangan terakhirnya justru memperoleh tempatnya dalam lapangan hukum Islam, sejalan dengan proses pelembagaan pendidikan skolastik yang bentuk tertingginya adalah madrasah. Karena lembaga yang terakhir ini diakui sebagai penghubung tradisi skolastik Islam dengan tradisi skolastik Kristen abad pertengahan yang menjadi dasar peradaban Barat dewasa ini, konsep kebebasan akademik sebagaimana kita kenal sekarang tidak bisa dilepaskan dari tradisi munazarah dalam pendidikan Islam klasik itu. Catatan ini hanyalah merupakan contoh percobaan untuk memahami aspek universal dari tradisi intelektual Islam klasik, yang menunjukkan kontinuitas peradaban dunia, dengan peradaban Islam sebagai salah satu gelombang pentingnya.

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN TINGGI ISLAM KLASIK


Pendidikan tinggi Islam klasik, sebagai tempat berkembangnya kebebasan akademik, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: lembaga pendidikan formal dengan cirinya yang eksklusif dan lembaga sampingan (informal) dengan cirinya yang bebas. Dalam konteks skolastik, kategori pertama sangat berperan dengan madrasah sebagai bentuk kelembagaan tertinggi. Secara umum, pendidikan tinggi Islam, baik kategori pertama maupun kategori kedua, bersifat individual yang memberikan peran sangat besar bagi profesor, termasuk dalam hal penentuan materi dan pemberian ijasah. Hubungannya dengan mahasiswa berlangsung sangat personal, bebas dari intervensi negara dan lembaga. Seorang mahasiswa dapat mencapai tingkat hubungan keilmuan tertentu dengan profesornya sehingga memperoleh kesempatan untuk berdiskusi dan menjelajah dunia keilmuan seluas mungkin. Begitupun hubungan antar mahasiswa berlangsung sangat kompetitif dalam forum-forum diskusi, yang tidak saja merupakan pendalaman materi tetapi juga peningkatan keterampilan berargumentasi.

Salah satu tugas penting profesor, di luar hubungannya dengan mahasiswa, adalah memberikan kuliah umum (pengukuhan) yang di dalamnya meliputi forum perdebatan. Tugas ini, dalam sejarah intelektual Islam klasik, pada mulanya dilakukan oleh ilmuwan yang berkunjung dan singgah di kota tertentu dalam perjalanannya menuju Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji. Di kota itu, ilmuwan tersebut disambut oleh masyarakat setempat dengan membuka halaqoh di masjid, yang secara tidak langsung menguji kemampuan intelektualnya. Dalam forum itu, persoalan-persoalan keagamaan dipertanyakan dan kebebasan diberikan kepada profesor untuk menjawabnya. Dalam konteks komunitas skolastik, tradisi ini kemudian dilaksanakan dalam bentuk kuliah pengukuhan dirinya sebagai profesor pada sebuah institusi (madrasah), yang seringkali mendapat perhatian juga dari kalangan pejabat dan ilmuwan penting.

Mahasiswa, dalam lembaga skolastik Islam klasik, secara hierarkis dapat dibedakan ke dalam dua kelompok: kelompok mutafaqqih yang bersifat undergraduate (sarjana muda) dan faqih. Konsentrasi keilmuan mereka lebih besar diarahkan kepada bidang hukum Islam, sesuai denagn jabatan-jabatan yang pada umumnya ditawarkan pada masa itu. Kepada mahasiswa yang berhasil, diberikan ijasah al tadris wa al ifta. Penting untuk dicatat bahwa studi hukum Islam pada masa klasik, dengan terumuskannya usul al fiqh oleh al Syafi’I, secara implisit meliputi juga unsur teologi yang bersifat yuridis, sebagai alternatif dari ilmu kalam, atau teologi yang bersifat filosofis.

Dalam studi kependidikan Islam klasik, salah satu konsep yang penting untuk dipahami adalah konsep riyasah. Konsep ini berarti kepemimpinan dalam hal keilmuan yang menyulut suasana kompetitif di kalangan intelektual. Keunggulan seorang ilmuwan yang diuji melalui munazarah akan mengangkatnya ke tingkat elit tertinggi komunitas skolastik, secara langsung akan menarik banyak murid dan pengikut. Dalam forum munazarah itu, kehandalan seorang ilmuwan dalam mengajukan pandangan-pandangannya dibuktikan, atau bahkan malah menurunkan tingkat reputasinya karena kalah unggul dengan argumentasi ilmuwan lawannya. Namun demikian, demi riyasah ini, ilmuwan yang ‘jatuh’ masih dapat berusaha memulihkan reputasinya dengan menyelenggarakan munazarah di tempat lain, sampai akhirnya terbukti ia pantas memimpin komunitas intelektual di tempat itu. Tapi yang terpenting dari fenomena ini adalah bahwa komitmen para ilmuwan dalam menyusun argumen untuk mendukung kebenaran yang ditawarkannya melalui forum yang terbuka untuk umum memang menjadi taruhan hidup bagi ilmuwan Islam masa klasik. Untuk mampu eksis dalam komunitasnya, dengan kebanggaannya tersendiri, mereka tidak punya pilihan lain kecuali terus menerus menguji kebenaran ajaran dan menyampaikannya kepada umum, termasuk kepada mahasiswa.

Kamis, 14 Mei 2009

AKAR SKOLATISISME ISLAM


Tradisi skolastik dalam sejarah intelektual Islam terbentuk melalui tiga tahap. Pertama adalah tahap penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Pada tahap ini, Dar al Hikmah yang dibangun Khalifah Harun al Rasyid menjadi pusat utamanya, yang sekaligus sebagai pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam tradisi Islam. Tampilnya tokoh-tokoh filosof dan saintis Muslim seperti al Kini, al Farabi, al Khawarizmi dan Ibnu Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang mereka peroleh dari membludaknya literatur-literatur Yunani. Terlebih-lebih, Dar al Hikmah menyediakan juga laboratorium yang dilengkapi peralatan-peralatan penelitian yang sangat canggih pada masanya untuk menguji dan mengembangkan teori-teori saintifik Yunani. Karya ilmuwan-ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang filsafat dan sains pada masa penerjamahan ini, baik yang bersifat karya salinan maupun karya orisinal, belakangan, pada abad 12 dan 13 M, menjadi perantara bagi Barat untuk mendalami warisan Yunani kuno.

Kedua, adalah tahap rasionalisasi pemikiran teologi Islam yang mengarah pada peristiwa mihna. Tahap ini merupakan konsekuensi langsung dari perkenalan para teolog Muslim (mutakallimin) dengan tradisi berpikir Yunani kuno, seperti tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles. Secara kongkret, tahap ini ditandai kuatnya pengaruh pemikiran Mu’tazilah terhadap sikap dan pandangan Khalifah pada masa itu, al Makmun (memerintah 813-833 M). Demikian kuat pengaruh itu, sehingga khalifah mengeluarkan kebijaksanaan untuk memberlakukan paham pemikiran Mu’tazilah itu sebagai paham resmi yang harus dianut oleh ummat Islam. Kebijakan pemerintah ini dalam sejarah Islam dikenal dengan nama mihna, yang secara langsung menantang dan menimbulkan perlawanan dari kalangan tradisionalis. Mihma berakhir setelah al Mutawakkil menjadi Khalifah dan menghentikan kebijaksanaan itu, yang sekaligus menandai kemenangan kaum tradisionalis, yang ditokohi Ahman ibn Hanbal dan kemudian al Asy’ari, atas kaum rasionalis.

Tahap ketiga, yang sekaligus kebangkitan dan kemenangan kaum ortodoksi Sunni, adalah tahap terbentuknya 4 aliran (madzhab) dalam hukum Islam pada abad ke-11 M: Aliran hukm Islam sebelum ini bersifat individual dengan sangat banyak; kemudian bersifat geografis, seperti aliran Kufah, Madinah dan Syiriah. Pengkristalan jumlah aliran-aliran itu menjadi empat, yang masih dikenal hingga sekarang, terjadi sebagai kelanjutan dari gerakan kaum tradisionalis dalam ‘menjaga ajaran-ajaran Islam dari pengaruh pemikiran rasional’ yang dibawa oleh filsafat Yunani. Keunggulan kaum tradisionalis pada tahap ini didukung oleh institusi kependidikan madrasah yang tersebar luas di seluruh wilayah kekuasaan Islam.

Dalam tradisi skolastik Islam, madrasah, dengan demikian, menjadi lembaga pendidikan tinggi yang sangat penting. Dari sudut sejarah pendidikan, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari masjid, yang menjadi pusat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan ahli-ahli hukum Islam, yang eksklusif bagi setiap madzhab. Dari sudut politik, madrasah adalah media yang sangat efektif untuk memenangkan pengaruh ulama. Sedangkan dari sudut pembentukan ortodoksi Islam, madrasah mewakili gerakan kaum tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan ajarannya, yang bebas dari pengaruh pemikiran kaum rasionalis, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah.

KEBEBASAN AKADEMIK


Kebebasan akademik adalah ciri penting komunitas skolastik (sarjana), yang memegang komitmen untuk memeriksa dan menjaga kebenaran ajaran secara murni. Dalam tradisi Islam, kebebasan itu dimungkinkan karena beberapa faktor.

Pada dasarnya Islam tidak mengenal status hierarkis dalam memahami dan melaksanakan ajaran, yang berarti memberi posisi yang sama bagi setiap muslim dalam hubungannya dengan teks-teks suci. Dalam ajaran Islam, tidak ada institusi keagamaan tertentu yang memutlakkan kebenaran Tuhan. Bahkan, Islam menekankan pentingnya ijtihad, yaitu kesungguhan setiap pribadi muslim untuk secara independen memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama secara bertanggung jawab. Sementara itu, perkenalan filosof dan teolog Muslim dengan tradisi pemikiran Yunani kuno, pada awal-awal sejarah perkembangan Islam, di satu sisi telah merangsang timbulnya pemikiran rasional dalam mendekati teks-teks suci, dan di sisi yang lain, telah menimbulkan bangkitnya kalangan tradisionalis yang membela “kemurnian teks”. Dengan dinamika seperti ini, tradisi skolastik Islam terbentuk, yang menyediakan jalan bagi terciptanya ijma’ dan ortodoksi ajaran. Meskipun demikian, melalui caranya yang bervariasi, pemeriksaan terhadap ajaran-ajaran ortodoksi tetap berlangsung. Dengan demikian, peran kebebasan akademik selalu sangat vital, yang menjadi nafas bagi tradisi skolastik.

Tulisan ini coba mengangkat bentuk kebebasan akademik dalam tradisi Islam klasik. Uraiannya akan dimulai dengan menelusuri akar-akar pembentukan komunitas skolastik dalam sejarah intelektual Islam. Kemudian, lebig kongkret lagi akan digambarkan praktek munazarah sebagai salah satu wujud kebebasan akademik, dengan memahami karakter para pelaku pendidikan tinggi (professor dan mahasiswa) serta sifat kelembagaan dan motif akademiknya.

Perlu ditegaskan bahwa kebebasan akademik berbeda dengan kebebasan intelektual pada umumnya. Kebebasan yang terakhir ini pada dasarnya dimiliki semua orang, dengan kenyataan bahwa tidak semua orang menggunakannya. Adalah hak setiap individu untuk memeriksa secara serius ajaran dan teori yang berkembang, atau menerima dan membiarkannya tanpa berpikir kritis. Sedangkan kebebasan akademik merupakan kebebasan intelektual yang tidak boleh tidak harus diemban oleh kalangan pendidikan tinggi. Profesor (syaikh), karena tugas akademiknya, harus meneliti dan mempublikasikan hasilnya; begitupun para mahasiswa harus belajar untuk memeriksa kebenaran ajaran yang diterimanya. Dengan kebebasan akademik ini, pendidikan tinggi menjadi sumber rujukan dan pengaduan masyarakat pada umumnya. Untuk mengukuhkan keberadaannya, universitas/akademi harus menyampaikan kebenaran-kebenaran ajaran yang diperlukan komunitas pendukungnya, betapapun harus berlawananan dengan otoritas ortodoks.

Kamis, 30 April 2009

KANDUNGAN DAN KEMUNGKINAN DINAMISASI KITAB KUNING (1)

Kandungan Kitab Kuning yang beredar di kalangan pesantren hingga sekarang memang lebih banyak didominasi bidang fiqih (yurisprudensi, hukum Islam). Akan tetapi, kenyataan ini tidak berarti bahwa tradisi keilmuan yang berkembang di pesantren terbatas apda disiplin fiqh saja. Karena ternyata, dari sekitar 900 judul Kitab Kuning yang beredar di lingkungan pesantren, hanya sekitar 20 % saja yang bersubstansikan fiqh. Sisanya menyangkut disiplin-disiplin ilmu lain, seperti aqidah (ushul al din) berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sarf, balaghah) berjumlah 12 %, hdits berjumlah 8 %, tassawuf berjumlah 7 %, akhlak berjumlah 6 %, pedoman doa (wirid, mujarrabat) berjumlah 5 %, dan karya puji-pujian kenabian (qisas al anbiya, mawlid, manaqib) berjumlah 6 %.

Jika dilakukan peringkasan, maka hanya ada dua disiplin ilmu yang tampak berkembang; fiqh dan tasawwuf, ditambah dengan disiplin ilmu bahasa Arab. Sejajarnya disiplin ilmu bahasa Arab dengan disiplin fiqh dan tasawwuf mengandung arti bahwa tradisi intelektual yang berkembang di pesantren menyaratkan penguasaan bahasa Arab, sebagai ilmu bantu, untuk memahami teks-teks fiqh dan tasawwuf serta disiplin lainnya.

Hal lain yang mungkin terlihat menarik adalah bahwa disiplin tafsir Al Qur’an terlihat tidak memperoleh tempat yang lebih baik di pesantren, paling tidak sejauh laporan Van den Berg. Ia mengatakan bahwa hanya ada satu Kitab Kuning tafsir yang digunakan dalam pendidikan di pesantren, yakni tafsir jalalain.

Dalam perkembangan berikutnya, pesantren memasukkan tambahan disiplin ilmu usul al-fiqh dalam kurikulum pendidikannya. Sungguhpun perkembangan ini merupakan bagian terpenting dari usahanya untuk mengukuhkan kajian fiqh secara mapan. Namun, pada tahap inilah sesungguhnya dinamisasi pemahaman fiqh di pesantren mulai tertanam. Karena dengan Kitab Kuning ushul al-fiqh, tradisi keilmuan pesantren berarti telah memperlengkapi diri dengan perangkat epistemologisnya, manhaj hukum Islam, yang memungkinkan kalangan santri dapat menyelaraskan ketentuan hukum Islam sesuai dengan perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa penyelarasan semacam ini dalam pandangan kalangan pesantren belum merupakan proses ijtihad, mengingat pada prakteknya ia hanya memanfaatkan keluasan pilihan (alternatif, qawl) yang disediakan sejumlah Kitab Kuning fiqh. Demikian ini adalah bagian dari ciri khas Kitab Kuning yang dominan dalam diskursus hukum; ia secara substantif; ia secara substantif menyajikan pandangan-pandangan yang berbeda mengenai masalah tertentu, biasanya tidak keluar dari lingkup empat aliran fiqh (al madzahib al arba’ah). Dalam perspektif inilah, barangkali, tradisi keilmuan pesantren dipandang memiliki kekenyalan (elastisitas) sebagaimana ditunjukkan perilakunya selama ini. Karena itu, dalam menghadapi banyak pilihan, dengan kemampuan ushul al fiqh-nya, kalangan pesantren – dalam pengertian mereka yang terdidik secara matang – lebih bebas mengekspresikan sikap keberagamaannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Ketersediaan pilihan-pilihan itu agaknya tidak terbatas pada bidang fiqh saja. Hal yang sama juga tampak dalam Kitab Kuning tasawwuf, paling tidak sejauh Kitab Kuning yang diteliti Nurcholis Madjid. Dicontohkan bahwa dalam Jawharat a Tauhid karya Ibrahim al Laqqani, yang dijawakan oleh Kiai Saleh Darat, Tarjamah Sabil Al Abid ala Jawharat at Tauhid, dibahas mengenai hubungan kerja (kasab) dengan tawakkal, yang memperlihatkan beda pendapat, kontroversi, seperti berikut:

Berkenaan dengan persoalan mana yang lebih baik, bekerja atau tawakkal, para ulama ahlussunnah wal jama’ah berselisih. Menurut qawl (pendapat) yang rajih (unggul), perkara itu harus diteliti secara rinci apa kiranya yang bisa dipahami dari Kitab para ulama seperti Ihya Ulum al Din dan ar-Risalah al Qusyairiyyah. Maka hendaknya para ulama al muhaqqiqin (yang telah mencapai bukti kebenaran) telah berselisih berkenaan dengan dengan persoalan mana yang baik, bekerja (kasab) atau tawakkal dengan meninggalkan bekerja. Maka, sebagian ulama berpendapat lebih utama bekerja, yaitu berusaha untuk mencari nafkah, seperti dagang, bertani, atau menjadi tukang jahit. Sebab, kalau orang bekerja, ia tidak mengharap kepada sesuatu yang menjadi hak orang lain, dan tidak merendahkan diri kepada orang lain, bahkan dapat melapangkan hidup hamba-hamba Tuhan dengan sedekah dan menjalin tali persaudaraan atau siaturrahmi.

Sebagian ulama yang lain berkata, bahwa lebih baik tawakkal dengan meninggalkan kerja, kemudian melulu hanya menyandarkan diri kepada Allah, tanpa melihat hukum sebab-akibat. Dengan tawakkal orang dapat meninggalkan urusan dunia dan menjauhi kecintaan kepada dunia serta melepaskan diri dari pergaulan dengan kalangan hidup duniawi, sekaligus terbebas dari godaan harta dan godaan mencari rezeki. Sebab dunia ini, yang halal akan dikenakan perhitungan dan yang haram dikenakan azab. Dikatakan dalam sebuah hadits, “Barang siapa semata-mata hanya mengharap Allah dan tidak mengharap kepada lain-Nya, maka Allah akan mencukupkan seluruh kebutuhannya dan memberi rezeki dari arah yang tidak terduga. Dan barangsiapa mengharap dunia maka Allah akan menyerahkan orang itu kepada dunia.”

Melanjutkan kontroversi di atas, Kiai Saleh Darat menyebutkan, pada bagian berikutnya, pendapat yang disebutnya rajih (unggul). Menariknya, pada tingkat pendapat rajihpun – yang biasanya sudah final – ketersediaan pilihan-pilihanpun masih sangat tampak, fleksibel. Dijelaskannya,

“Apapun menurut pendapat yang unggul, masalah itu harus dilihat secara rinci bagaimana pandangan para ulama yang telah mencapai bukti kebenaran. Hasil rincian itu ialah bahwa kerja dan tawakkal itu bermacam-macam, sebab manusia bermacam-macam. Seseorang yang sanggup berlaku sabar ketika mengalami kesulitan dalam nafkahnya dan mampu untuk tidak berharap kepada orang lain, serta tidak meminta-minta, dan tidak merasa benci kepada takdir Tuhan dengan kemiskinannya, baginya lebih baik bertawakkal. Sebaliknya, seorang yang tidak bisa sabar seperti itu, maka bekerja adalah lebih baik, sebab jangan sampai ia jatuh pada lembah kemurkaan Tuhan karena tidak bisa menerima takdir Tuhan dengan kemiskinannya. Maka adakalanya justru wajib bekerja atas orang itu, apalagi pada jaman sekarang. Semua perselisihan itu timbul karena adanya pendapat bahwa bekerja itu merusak tawakkal, sehingga jika seseorang bekerja mencari nafkah maka ia sudah tidak bertawakkal lagi namanya.”

Pada akhirnya, mungkin kita sendiri terkejut, sebagai pembaca, akan sedikit terkejut – karena ada sesuatu yang terjadi di luar common sense kita. Dalam Kitab Kuning, yang pada umumnya dianggap sangat memberi peluang berkembangnya sikap fatalistik karena, antara lain, konsep tawakkal itu, Kiai Saleh Darat tidak berhenti pada uraian di atas; ia berpandangan:

“Adapun menurut pendapat umumnya ulama yang telah mencapai bukti kebenaran, maka tawakkal itu tidak menghilangkan kerja. Jadi ada orang yang bekerja sambil tawakkal, dan tidak batal tawakkal karena bekerja, sama sekali tidak. Sebab arti tawakkal itu ialah percaya kepada Allah SWT dan berpegang kepada-Nya, meskipun dengan menempuh berbagai jalan bekerja. Pendeknya, jaman ini lebih baik bekerja, malah wajib bekerja, sebab keimanan dan keislaman seseorang tidak sempurna tanpa harta. Sebuah hadits dari riwayat Sayyidina Anas r.a menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baiknya penunjang untuk bertaqwa kepada Allah adalah harta.” Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya kemiskinan untuk para sahabatku adalah kebahagiaan, sesungguhnya kekayaan bagi seorang yang beriman di akhir jaman itu adalah kebahagiaan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Jabir. Dan sabda Nabi Muhammad SAW lagi, “Kemuliaan seseorang yang beriman ialah kemandiriannya dari orang lain.”

Kutipan di atas mungkin terlalu panjang, tapi itu hanyalah contoh ‘kecil’ yang memperlihatkan bahwa dalam ontologi Kitab Kuning sebetulnya terdapat segi-segi dinamis. Kita mungkin akan lebih memahami segi-segi seperti itu setelah mengamati variasi Kitab Kuning yang beredar di lingkungan pesantren, mulai dari bidang bahasa Arab, fiqh dan ushul al fiqh, tawhid, tafsir, hadits, akhlaq, tasawwuf, tarikh, sampai dengan bidang-bidang amaliyah.

Kamis, 16 April 2009

KITAB KUNING DAN PERANNYA DI PESANTREN


Pada umumnya, pesantren dipandang sebagai sebuah subkultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut ‘kaca mata’ umum, modern. Di samping faktor kepemimpinan Kyai, Kitab Kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik sub kultur tersebut. Selain sebagai pedoman tata cara keberagamaan, Kitab Kuning difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi segala tantangan kehidupan. Ketika Kitab Kuning digunakan secara permanen, dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung.

Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus Kitab Kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Dan bagaimanakah pesantren memperlakukan Kitab Kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan mengenai hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental: bukankah semestinya Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi referensi mereka?

Dari kalangan pesantren sendiri sejauh ini, sebetulnya belum ada pertanggung jawaban filosofis (argumentatif) yang utuh, dalam pengertian modern, mengenai penempatan Kitab Kuning sebagai referensi nilai-nilai universal mereka. Belakangan memang ada usaha-usaha penjelasan dari mereka, misalnya dari Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Masdar F. Mas’udi, Sahal Mahfudz, Tolhah Hasan, Chozin Chumaedi dan A Malik Madani lewat berbagai tulisan mereka. Namun, penjelasan mengandung unsur kritis dan evaluatif, jadi keberadaan mereka lebih dianggap mewakili penjelasan kalangan pesantren pembaharu. Terlepas dari anggapan ini, nampaknya memang masih perlu dilakukan kajian yang lebih serius untuk memahami paradigma sebenarnya yang ada di balik pemeliharaan dan pengajaran Kitab Kuning yang permanen itu.

Alasan pemilihan Kitab Kuning mungkin bisa dirumuskan, antara lain, dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi intelektual Islam Nusantara yang pernah kita bahas. Sejak periode paling dini, bersamaan dengan proses internasionalisasi – yang berarti Arabisasi – dokumentasi mengenai ajaran-ajaran Islam selalu dilakukan dalam bahasa Arab, paling tidak dengan menggunakan huruf Arab. Arabisasi seperti itu tidak lain menempatkan ‘keislaman’ di Indonesia selalu dalam konteks universal. Proses seperti ini terus berlanjut – sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa di Nusantara - , dan pesantren tampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren dalam tekanan kekuatan asing, dan ia melakukan gerakan defensif non-kooperatif. Pemasok utama nilai dan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam situasi seperti itu adalah Kitab Kuning yang sudah beredar sangat luas di lingkungan mereka. Kalaupun ada pasokan baru – dan ini sangat banyak ketika alumni Timur Tengah kembali ke Indonesia – prosesnya tetap harus mempertimbangkan standar Kitab Kuning yang sudah menyebar itu, kecuali setelah terbukanya kembali hubungan pesantren dengan ‘dunia umum’, sejak kira-kira tiga dasawarsa yang lalu.

Mas’udi mencoba melihat masalah ini dari sudut lain, yang lebih inherent dalam kehidupan pesantren, yaitu berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren mengenai ‘ilmu’. Bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan pengalihan, pemwarisan, transmisi, bukan sesuatu yang bisa diciptakan, created. Dalam salah satu Kitab Kuning yang menjadi pedoman belajar kalangan pesantren, Ta’lim al Muta’allim Tariq al-Ta’allum, diajarkan bahwa “Ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal (guru/kyai), karena mereka itu telah menghafal bagian yang paling baik dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari yang pernah mereka hafal.”

Di kalangan pesantren memang diakui ‘cara lain’ untuk memperoleh ilmu – jadi tidak hanya dengan cara transmisi seperti itu. Namun demikian, ‘cara lain’ yang dimaksud bukanlah cara yang lebih rasional (nalar) melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu, identik dengan proses pewahyuan. Kalangan pesantren menyebutnya sebagai ilmu ladunni.

Bagi masyarakat pesantren, dengan demikian, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sacred. Tidak boleh spekulatif, akal-akalan. Puncak dari pandangan ini, ilmu dianggap wahyu tersendiri, atau, paling tidak, ia hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya bisa ‘dimonopoli’ oleh Nabi, ilmu juga diyakini hanya bisa dikuasai oleh ilmuwan, ulama. Pandangan mereka seperti itu nampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hadits, “al ulama warasat al anbiya”. Dengan pandangan keilmuan yang demikian ketat, tidak dinamis, maka pengajaran dan pendidikan yang berlangsung selalu merupakan pengulangan sebatas ‘kata-kata’ ulama. Ada dua konsekuensi yang saling terkait karena hal ini:
Pertama, keseragaman akan dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalau saja terjadi perbedaan, maka perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam pengungkapannya saja…Kedua, kitab sebagai karya ulama (terdahulu) yang memberikan keterangan langsung terhadap kata-kata wahyu adalah sentral, sedangkan Kyai yang memberikan keterangan atas kitab itu adalah subordinat, atau sekadar alat untuknya (tidak berhak mengevaluasinya).

Dalam jangkauan sejarah yang lebih luas, pendapat van Bruinessen, yang selaras dengan pandangan Mas’udi di atas, tampaknya cukup penting untuk dicatat. Menurutnya Kitab Kuning yang berkembang di Indonesia pada dasarnya merupakan hasil pemikiran ulama abad pertengahan, mulai abad ke-10 M hingga abad ke-15 M. Tradisi keilmuan yang berkembang pada masa-masa itu bertolak dari pandangan keilmuan yang sangat ketat; ‘dalam tradisi [intelektual] abad pertengahan, semua ilmu pada dasarnya sudah merupakan sistem pengetahuan yang pasti”. Gagasan untuk menyempurnakan siste ilmu pengetahuan dianggap sesuatu yang menyimpang dan mengaburkan. Van Bruinessen kemudian merujuk pandangan Aziz al-Azmih yang meneliti dasar-dasar metafisika pemikiran Arab. Ia akhirnya menyimpulkan:
“Jadi, karya mengenai topik apapun hadir dalam tujuh bentuk: kompilasi yang tidak komplit, koreksi atas kesalahan-kesalahan teks, penjelas terhadap masalah yang samar, peringkasan dari teks panjang, pengumpulan teks yang terpisah-pisah, perapihan susunan bahan yang kurang teratur, dan pengambilan/pencuplikan kesimpulan.”
Beberapa alasan di atas nampaknya cukup untuk sekadar memahami penempatan Kitab Kuning yang begitu penting di dalam sistem keilmuan pesantren. Namun, bagi sebagian kalangan pesantren sendiri, alasan-alasan seperti itu mungkin akan dianggap kurang idealis. Mungkin juga terkesan bahwa Kitab Kuning dalam konteks perlembangan pemikiran keislaman di Indonesia sejauh alasan-alasan di atas bernilai statis. Bukankah dalam kenyataannya Nusantara/Indonesia adalah wilayah ‘pinggiran’ dalam peta peradaban Islam, sehingga kehadiran dan perkembangan Kitab Kuning itu sendiri dapat diartikan sebagai faktor dinamis? Paling tidak dalam proses pengayaan pengetahuan ajaran-ajaran Islam, tidakkah Kitab Kuning di pesantren menjadi sangat signifikan? Dalam kaitan ini, Ali Yafie memberikan pandangannya:
“ Peran kitab tersebut (Kitab Kuning) sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran/pendidikan pesantren adalah sedemikian pentingnya dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektualitas dan moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) pada diri peserta didik (thalib/santri).

Dengan beberapa catatan, Abdurrahman Wahid mempertimbangkan segi dinamis perkembangan Kitab Kuning di pesantren. Menurutnya, Kitab Kuning merupakan faktor penting dalam pembentukan tradisi keilmuan yang fiqh-sufistik yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu adabnya (humanistik) Tanpa Kitab Kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi ekstrim dan fiqh ekstrim. Apa yang dicapai oleh Kyai Ihsan Jampes melalui karya-karyanya, Siraj al Thalibin dan Manahij al Imdad, yang masing-masing merupakan komentar atas Minhaj al Abidin dan Iryad al Ibad, merupakan contoh prestasi intelektual yang mengandalkan Kitab Kuning. “Dalam Manahij al Imdad ini, sekali lagi, terbukti kemampuan ulama di pesantren untuk mengkombinasikan antara kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama secara tuntas, di samping mengamalkan tasawwuf secara tuntas pula.” Masalahnya mungkin adalah pesantren dituntut untuk melakukan kreasi baru dan mentransformasikan Kitab Kuning sejalan dengan kecenderungan intelektual modern.

Dengan demikian, kita melihat ada dua pandangan mengenai posisi dan signifikansi Kitab Kuning di pesantren. Pertama, dan mungkin yang paling kuat, kebenaran Kitab Kuning bagi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa Kitab Kuning ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa Kitab Kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab Kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan bersandar pada Al Qur’an dan al Hadits. Menjadikan Kitab Kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan kedua sumber itu – tetapi pada hakekatnya justru mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua Kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan kesan bahwa al Qur’an dan al Hadits tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara yang paling aman untuk memahami kedua sumber itu – agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri – adalah dengan mempelajari dan mengikuti Kitab Kuning. Sebab kandungan Kitab Kuning merupakan penjelasan dan ‘pengejawantahan’ yang siap pakai, dan rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari al Quran dan al Hadits, yang dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.

Pandangan kedua – yang mulai muncul dalam tiga dasawarsa terakhir – adalah bahwa Kitab Kuning penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, al Qur’an dan al Hadits. Kitab Kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam. Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pengayaan Kitab Kuning harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan itu adalah penanganan Kitab Kuning dalam lapangan dan masa yang luas, termasuk yang lahir belakangan, al kutub al ashriyyah. Hanya dengan penguasaan Kitab Kuning seperti itulah, kreasi pemikiran keislaman yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.

Selasa, 14 April 2009

KITAB KUNING DAN TRADISI INTELEKTUAL ISLAM NUSANTARA (2)

Kemudian, muncul gelombang keempat yang menerima pengaruh kuat dari gelombang ketiga. Kristalisasi norma-norma dalam bentuk fiqh, ditambah dan instititusionalisasi sufistik, yang berhasil diberlakukan dalam wilayah (umat) yang sangat luas, harus berhadapan dengan “keraton” yang cenderung dalam kungkungan penuh dominasi asing, kafir. Ketegangan tidak bisa terelakkan antara ulama dan penguasa, dan antara pesantren dengan keraton. Disintegrasi ini pada dasarnya mencerminkan “kebangkrutan” politik (kekuasaan) Islam, dan situasi inilah yang memacu upaya penerjamahan pengalaman observasi politik ke dalam pemikiran dan kegiatan keagamaan. Termasuk dalam bagian dari pengalaman dan observasi ini adalah gerakan “pan Islamisme” yang berupaya mewujudkan komunitas politik Islam dalam skala global.

Percobaan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi perjuangan politik versus Barat dan “kraton”, dengan demikian telah menjadi perhatian utama gelombang ini.

Ujung dari perjuangan untuk mengentaskan kembali “Islam” dari keterjajahan adalah, antara lain, lahirnya gerakan “reformis yang modern”, yang menandai munculnya gelombang kelima – gelombang terakhir dalam sketsa Abdullah. Berkembang dalam kompleksitas masyarakat dan dalam ketersediaan media cetak, gelombang ini digerakkan oleh dua hal: pertama, lahirnya organisasi-organisasi sukarela yang berdiri di atas kesamaan kecenderungan kultural-agama dan aspirasi sosial; dan kedua, tersedianya media cetak – di samping media oral – yang berfungsi menyebarkan pandangan dan pemikiran keagamaan.

Sistematisasi gerakan Islam tidak saja terjadi dalam lingkup instrumental, lembaga, tetapi juga dalam lingkup konsep, gagasan. Ketersediaan media cetak – sebagai salah satu instrumen komunikasi – misalnya, sekaligus bisa mendorong lebih luas penyebaran karya-karya terjemahan, yang ikut menyulut semangat keagamaan, terutama pada masa pasca kemerdekaan. Perkembangan Kitab Kuning secara massal di pesantren juga didukung oleh situasi seperti ini.

Beberapa catatan mungkin bisa dibuat dari sketsa Abdullah di atas. Pertama, akar terdalam dari tradisi intelektual Islam di Indonesia nampaknya adalah pemikiran sufisme yang, sayangnya, tidak mencapai perkembangan terjauhnya dalam wujud wacana-wacana intelektual, melainkan lebih dalam wujud perilaku-perilaku moral, thariqah, tasawwuf amaliyah. Dengan demikian, tasawwuf yang berkembang di Indonesia, bahkan sampai dewasa ini, termasuk di pesantren, adalah tasawwuf yang sudah kehilangan dimensi filosofisnya, tasawwuf yang sudah “mati”.

Kemudian, salah satu fase terpenting dalam perkembangan intelektual Islam di Indonesia adalah ketika dilakukan intensifikasi pemikiran dan gerakan ortodoksi yang mungkin mencapai momentumnya – seperti terekam dalam catatan sejarah selama ini – pada akhir abad ke-19 M. Dalam sejarah Islam, ortodoksi itu sendiri – menurut beberapa pengamat – sebetulnya sudah dirumuskan pada abad ke-11 M ketika Al Ghazali mensintesiskan pemikiran Islam “ultra tradisionalis” yang berkembang di bawah pengaruh Ahmad bin Hanbal, dengan pemikiran “ultra rasionalis” yang menerima pengaruh pemikiran Hellenisme.

Sementara ortodoksi yang berkembang di Indonesia agaknya lebih cenderung ekpada ortodoksi yang berasal dari gerakan Wahabi, suatu gerakan “neo ultratradisionalis”, yang kurang (tidak) memberi tempat bagi filsafat, aql dalam pemikiran keagamaan. Artinya, ortodoksi yang berkembang di Indonesia pun adalah ortodoksi yang sudah dijinakkan sisi filosofisnya, ortodoksi yang “mati”. Dengan demikian, jelas pergulatan yang terjadi antara tassawuf dengan ajaran ortodoksi dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia pada dasarnya adalah pertarungan dua gerakan yang sama-sama sudah kehilangan dimensi rasionalitasnya.

KITAB KUNING DAN TRADISI INTELEKTUAL ISLAM NUSANTARA (1)


Sejauh bukti-bukti historis yang tersedia, bisa dikatakan bahwa Kitab Kuning menjadi buku teks atau referensi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang ini, bermula pada abad 18 M. Bahkan cukup realistik juga memperkirakan pengajaran Kitab Kuning secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M, ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari belajarnya di Mekkah.

Namun realitas ini tidak berarti Kitab Kuning, sebagai produk intelektual, belum ada pada masa-masa awal perkembangan keilmuan Islam di Nusantara. Sejarah mencatat, paling tidak, sejak abad ke-16 M, sejumlah Kitab Kuning, baik dengan menggunakan Bahasa Arab, Melayu maupun Jawi, sudah beredar dan menjadi bahan informasi serta kajian mengenai Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karakter dan corak keilmuan yang dicerminkan Kitab Kuning bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang panjang – kira-kira sejak lima abad sebelum pembakuan Kitab Kuning di pesantren-pesantren.

Kita juga bisa mengajukan pertanyaan, mengapa, misalnya, hanya fiqh, ushul al din, tasawwuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab yang menjadi disiplin ilmu utama di pesantren-pesantren? Tentu saja, jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat dirumuskan secara memuaskan jika mempertimbangkan perkembangan intelektual Islam Nusantara sejak periode awal pembentukannya. Karena itu, pembakuan Kitab Kuning di pesantren sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual Islam Nusantara masa awal.

Ihwal asal-usul dan perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara sejauh ini telah mengundang perhatian sejumlah sarjana dan pengamat yang menekuninya. Di antara mereka, untuk menyebut beberapa nama, adalah Taufik Abdullah, Kuntowijoyo, Martin van Bruinessen, Abdurrahman Wahid, dan Azyumardi Azra.

Walaupun berbeda rumusan – karena perbedaan pendekatan yang digunakan – hasil kajian mereka agaknya memperlihatkan kecenderungan yang sama dalam mempertimbangkan dua faktor penting: [1] kontak ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah, sebagai bagian dari proses internasionalisasi Islam, dan [2] interaksi (ketegangan) budaya Islam dengan budaya lokal, sebagai konsekuensi logis dari proses Islamisasi Nusantara. Kedua faktor ini berperan dalam membentuk dan mewarnai corak keilmuan Islam Nusantara, seperti antara lain tercermin dalam tradisi pendidikan pesantren, khususnya di Jawa.

Taufik Abdullah dalam penelusurannya yang sosio-historis menangkap lima gelombang pemikiran keislaman Nusantara. Gelombang-gelombang itu dimaksudkan sebagai pola hidup keberagamaan (Islam) yang mencerminkan pandangan keislaman yang secara kolektif dan permanen pada masa tertentu, tidak individual dan tidak fragmentaris. Karenanya, terhadap kelima gelombang itu, ia tidak memberikan label yang ketat berkenaan dengan disiplin-disiplin keilmuan – kecuali hanya menyebutkan tekanan-tekanannya saja. Sebaliknya, ia menerangkan perkembangan sikap umat Islam (community) dalam memperlakukan Islam sebagai jalan hidup, termasuk dalam kaitannya dengan kekuasaan.

Gelombang pembentukan pemikiran Islam – yang oleh Abdullah kemudian disebutnya gelombang pertam – baru berlangsung di Nusantara sepanjang abad 13 M sampai dengan abad 16 M. Dari bukti-bukti yang dapat dipercaya, baik dalam bentuk batu nisan di Samudera Pasai, buku-buku sejarah tradisional semisal Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, maupun laporan-laporan pengelana asing, Marco Polo dan Ibnu Batutah, dapat dipastikan bahwa kekuatan Islam sudah hadir pada abad ke-13 M di ujung Pulau Sumatera (Samudera Pasai).

Meskipun demikian, sampai abad ke-14 M kekuasaan itu belum tampil sebagai hegemoni politik yang paling berpengaruh – masih kalah jauh dari kekuasaan Hindu-Budha, Majapahit, yang pada waktu bersamaan telah berdiri di ujung Timur pulau Jawa. Barulah pada pertengahan abad ke-15 M, dan awal abad ke-16 M, kekuasaan Islam memegang hegemoni politik terbesar di Nusantara melalui kerajaan Malaka, yang telah Islam, dengan mendominasi wilayah-wilayah perairan (maritim).

Yang terpenting dari gelombang ini adalah bahwa Islam sudah tampil tidak hanya sebagai agama dan komunitas, akan tetapi juga sudah menjadi nilai kekuatan yang berpengaruh di hadapan tradisi lokal Hindu-Budha. Internalisasi ajaran Islam telah sampai pada tahap yang cukup ekspresif dan demonstratif – Islam dan komunitasnya sudah merasa beda dari non-Islam, kafir, yang telah hadir sebelumnya.

Pada gelombang ini pula, pandangan dan pemikiran keislaman yang berkembang sudah sangat mendasar, seperti menyangkut batas-batas antara dunia dan akhirat, antara dunia kini, yang haq, dan dunia lama, yang kafir. Prinsip-prinsip kosmopolitanisme Islam berarti semenjak gelombang ini sudah mulai diletakkan dengan cara merujukkan kultur umat Islam Nusantara dengan kultur Islam yang universal. Penerjemahan syair-syair pemujaan atas Nabi (barzanji) dan mitos-mitos Islam, baik dari Arab maupun Parsi, ke dalam buku-buku sejarah Melayu – kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Jawa – salah satu capaian intelektual Islam yang penting pada gelombang ini.

Gelombang kedua dimulai sebagai kelanjutan (konsekuensi) dari capaian gelombang pertama. Ajaran Islam, sebagaimana diajarkan teks-teks resmi, terus merambat dalam kehidupan masyarakat luas, menggantikan agama-agama masyarakat (folk religions). Kontemplasi (renungan) yang mempersoalkan kaitan manusia dengan Yang Maha Tinggi dan Abadi dimulai pada gelombang ini. Puncaknya adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani di Sumatera, dan Syeikh Siti Jenar di Jawa, sebelum masing-masing akhirnya dibantai oleh Nuruddin ar-Raniry dan Walisongo.

Semenjak gelombang ini, perumusan yang menyangkut otoritas dan landasan kekuasaan Islam sudah dimasukkan menjadi agenda kerja intelektual. Di Aceh, misalnya, pada tahun 1603 M, Buchari al Jauhari sudah menulis Taj al Salatin (Mahkota Segala Raja), yang merupakan teks teori kenegaraan yang paling awal dan penting di Nusantara. Pandangan yang ditawarkannya selaras dengan teori-teori kenegaraan Sunni Tradisional. Dalam bahasa Abdullah, “peranan Taj al Salatin [adalah] sebagai pemula ke arah terumuskannya ‘ortodoksi kraton’ di Nusantara.”

Penting untuk dicatat bahwa karena observasinya bersifat sosio-historis, umum, Abdullah seringkali gagal menangkap denyut intelektual murni, khususnya berlangsung pada gelombang ini. Misalnya saja, ia tidak menyebut jaringan intelektual antara ulama Indonesia dengan ulama Timur Tengah. Temuan Azyumardi Azra dalam hal ini sangat signifikan, bahwa hubungan guru-murid telah dibangun pada abad ke-17 M di Hijaz antara ulama Timur Tengah, Ahmad al Qushashi dan Ibrahim al Kurani, dengan ulama (murid) Jawi, Abd. Al Rauf al Sinkili. Bahkan lama sebelum itu, masyarakat Mekkah dan Madinah telah mengenal masyarakat “Jawi di Tanah Suci”. Tentu saja, kontak internasional seperti ini menjadi pintu masuk bagi Kitab Kuning asal Timur Tengah yang pada akhirnya memberikan arti tersendiri bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara.

Pada paruh kedua abad ke-18 M, gelombang intelektual yang ketigapun kemudian muncul dalam bentuk intensifikasi penyelarasan keyakinan agama dengan tata kehidupan sosial. Fiqh, hukum-hukum Islam – menggantikan kontemplasi sufistik – menjadi perhatian untuk “memaksa” lebih jauh penyesuaian kecenderungan folk religions ke dalam keharusan Islam, official religion. Setelah benihnya ditanamkan oleh ar-Raniry yang memulai penyebutan Asmaul Husna dalam teks-teks hikayatnya, antara lain Shiratal Mustaqim, yang kemudian diolah ulang oleh Syeikh Arsyad al Banjari, gelombang ini diwarnai antara lain, oleh Wahabisme gerakan Padri dan karya-karya ortodoksi Kemas Fachruddin di Palembang.
Selain itu, gelombang ketiga ini jga diwarnai oleh kecenderungan kuat institusionalisasi pemikiran sufistik dalam bentuk tarekat-tarekat, sebagai kelanjutan dari upaya pengikisan pemikiran sufi yang menyimpang (heterodoks). Dengan kata lain, gelombang intelektual Islam Nusantara sepanjang abad ke-18 M dan ke-19 M menampakkan dua wajah pertentangan (konflik).

Pertama, antara penekanan dan keharusan berlakunya pertimbangan syariah dan fiqh dalam bidang kehidupan sosial dan pribadi, dengan institusionalisasi sufisme. Konflik semacam inilah umpanya, yang terjadi dalam perdebatan antara Syeikh Akhmad dengan para guru tarekat. Kedua, antara kecenderungan guru sufistik dan tarekat yang heterodoks dengan yang ortodoks. Salah satu konflik yang paling intens ialah antara Syattariyah dengan Naqsabandiah.

Yang menarik untuk dicatat karena sangat relevannya dengan kajian ini adalah, bahwa di balik dua pergolakan itu pesantren sedang memasuki proses penyebaran yang cukup cepat. Diakui oleh Abdullah – tanpa menyebut contoh kongkrit – bahwa pada masa itu tradisi pesantren makin kuat dan jaringan guru-murid, yang menjadi landasan kelembagaan, semakin berakar. Pada tahap ini pulalah pembakuan Kitab Kuning mulai terjadi hampir di seluruh pesantren Nusantara. Dengan pengakuan ini, Abdullah tampaknya ingin mengatakan bahwa perkembangan pesantren berkait erat dengan proses pelembagaan tarekat-tarekat dengan warna syariah yang kuat (ortodoks) sebagai bias dari penetrasi gerakan syariah minded yang dilancarkan kelompok puritan.

Dalam posisi seperti itu, tampak bahwa pesantren sangat unik dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan menganggapnya sebagai benteng tarekat, atau sebagai pendukung fiqh, atau sebagai penentang gerakan puritan pembaharuan. Agaknya, peranan sintesis yang dilakukan pesantren di tengah-tengah pergumulan tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu pihak, dan gerakan fiqh versus gerakan tasawwuf di pihak lain.

TENTANG KITAB KUNING


Kitab Kuning adalah simbol tradisi intelektual di lingkungan pesantren. Ia menjadi wahana penyebaran ajaran Islam yang dirumuskan para ulama masa lalu, kepada para pelajar di masa kini. Lantas, sebetulnya apakah yang dimaksud dengan Kitab Kuning itu? Tulisan ini coba membahasnya.

Istilah Kitab Kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada yang merendahkan (peyoratif). Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan jaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Pada mulanya sangat menyakitkan memang, tapi kemudian nama Kitab Kuning diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.

Meskipun sebagian besar kalangan pesantren sudah bisa menerimanya, namun masih terdapat sebagian yang lain yang mempersoalkan istilah Kitab Kuning tersebut. Kelompok yang terakhir ini mengusulkan istilah lain yang lebih apresiatif untuk menyebut Kitab Kuning, misalnya dengan nama kitab klasik, al kutub al qadimah.

Sementara yang pengertian yang beredar di kalangan pemerhati masalah kepesantrenan adalah bahwa Kitab Kuning merupakan kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Mereka memberikan definisi yang lebih rinci bahwa yang termasuk Kitab Kuning adalah kitab-kitab yang: a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia; b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut al kutub al qodimah (kitab-kitab klasik). Sedangkan kategori kedua disebut al kutub al ashriyyah (kitab-kitab modern). Perbedaan yang pertama dari yang kedua, antara lain dicirikan oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, kalsik dan tanpa syakl (baca: sandangan; fathah, dlammah, kasrah. Apa yang disebut Kitab Kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, al kutub al qadimah.

Selain nama itu, karena tidak dilengkapi dengan sandangan, Kitab Kuning juga kerap disebut oleh kalangan pesantren sebagai “kitab gundul”, dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, Kitab Kuning itupun tidak luput dari sebutan kitab kuno.

Spesifikasi Kitab Kuning secara umum terletak pada formatnya, yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin, baik sebelah kanan maupun kiri), sementara syarh karena penuturannya lebih banyak dan panjang dibandingkan matn, - ia diletakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan Kitab Kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (kuarto).

Ciri khas lainnya terletak pada penjilidannya yang tidak total, artinya tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilihat setiap kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman), yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu Kitab Kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu saja sebagai bagian yang akan dipelajari bersama sang Kyai.

Selain itu, yang membedakan Kitab Kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari Kitab Kuning: metode sorogan dan metode bandungan. Cara yang pertama, santri membacakan Kitab Kuning di hadapan Kyai dan sang Kyai langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf).

Sedangkan cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang Kyai sambil masing-masing memberi catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafy), memiliki cara membaca tersendiri, yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan sharf) yang ketat.

Selain dengan kedua metode di atas, dewasa ini – sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian Kitab Kuning – di lingkungan pesantren telah berkembang metode jalsah (diskusi [kelompok] partisipatoris) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di tingkat kyai atau pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari Kitab Kuning.