Kamis, 30 April 2009

KANDUNGAN DAN KEMUNGKINAN DINAMISASI KITAB KUNING (1)

Kandungan Kitab Kuning yang beredar di kalangan pesantren hingga sekarang memang lebih banyak didominasi bidang fiqih (yurisprudensi, hukum Islam). Akan tetapi, kenyataan ini tidak berarti bahwa tradisi keilmuan yang berkembang di pesantren terbatas apda disiplin fiqh saja. Karena ternyata, dari sekitar 900 judul Kitab Kuning yang beredar di lingkungan pesantren, hanya sekitar 20 % saja yang bersubstansikan fiqh. Sisanya menyangkut disiplin-disiplin ilmu lain, seperti aqidah (ushul al din) berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sarf, balaghah) berjumlah 12 %, hdits berjumlah 8 %, tassawuf berjumlah 7 %, akhlak berjumlah 6 %, pedoman doa (wirid, mujarrabat) berjumlah 5 %, dan karya puji-pujian kenabian (qisas al anbiya, mawlid, manaqib) berjumlah 6 %.

Jika dilakukan peringkasan, maka hanya ada dua disiplin ilmu yang tampak berkembang; fiqh dan tasawwuf, ditambah dengan disiplin ilmu bahasa Arab. Sejajarnya disiplin ilmu bahasa Arab dengan disiplin fiqh dan tasawwuf mengandung arti bahwa tradisi intelektual yang berkembang di pesantren menyaratkan penguasaan bahasa Arab, sebagai ilmu bantu, untuk memahami teks-teks fiqh dan tasawwuf serta disiplin lainnya.

Hal lain yang mungkin terlihat menarik adalah bahwa disiplin tafsir Al Qur’an terlihat tidak memperoleh tempat yang lebih baik di pesantren, paling tidak sejauh laporan Van den Berg. Ia mengatakan bahwa hanya ada satu Kitab Kuning tafsir yang digunakan dalam pendidikan di pesantren, yakni tafsir jalalain.

Dalam perkembangan berikutnya, pesantren memasukkan tambahan disiplin ilmu usul al-fiqh dalam kurikulum pendidikannya. Sungguhpun perkembangan ini merupakan bagian terpenting dari usahanya untuk mengukuhkan kajian fiqh secara mapan. Namun, pada tahap inilah sesungguhnya dinamisasi pemahaman fiqh di pesantren mulai tertanam. Karena dengan Kitab Kuning ushul al-fiqh, tradisi keilmuan pesantren berarti telah memperlengkapi diri dengan perangkat epistemologisnya, manhaj hukum Islam, yang memungkinkan kalangan santri dapat menyelaraskan ketentuan hukum Islam sesuai dengan perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa penyelarasan semacam ini dalam pandangan kalangan pesantren belum merupakan proses ijtihad, mengingat pada prakteknya ia hanya memanfaatkan keluasan pilihan (alternatif, qawl) yang disediakan sejumlah Kitab Kuning fiqh. Demikian ini adalah bagian dari ciri khas Kitab Kuning yang dominan dalam diskursus hukum; ia secara substantif; ia secara substantif menyajikan pandangan-pandangan yang berbeda mengenai masalah tertentu, biasanya tidak keluar dari lingkup empat aliran fiqh (al madzahib al arba’ah). Dalam perspektif inilah, barangkali, tradisi keilmuan pesantren dipandang memiliki kekenyalan (elastisitas) sebagaimana ditunjukkan perilakunya selama ini. Karena itu, dalam menghadapi banyak pilihan, dengan kemampuan ushul al fiqh-nya, kalangan pesantren – dalam pengertian mereka yang terdidik secara matang – lebih bebas mengekspresikan sikap keberagamaannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Ketersediaan pilihan-pilihan itu agaknya tidak terbatas pada bidang fiqh saja. Hal yang sama juga tampak dalam Kitab Kuning tasawwuf, paling tidak sejauh Kitab Kuning yang diteliti Nurcholis Madjid. Dicontohkan bahwa dalam Jawharat a Tauhid karya Ibrahim al Laqqani, yang dijawakan oleh Kiai Saleh Darat, Tarjamah Sabil Al Abid ala Jawharat at Tauhid, dibahas mengenai hubungan kerja (kasab) dengan tawakkal, yang memperlihatkan beda pendapat, kontroversi, seperti berikut:

Berkenaan dengan persoalan mana yang lebih baik, bekerja atau tawakkal, para ulama ahlussunnah wal jama’ah berselisih. Menurut qawl (pendapat) yang rajih (unggul), perkara itu harus diteliti secara rinci apa kiranya yang bisa dipahami dari Kitab para ulama seperti Ihya Ulum al Din dan ar-Risalah al Qusyairiyyah. Maka hendaknya para ulama al muhaqqiqin (yang telah mencapai bukti kebenaran) telah berselisih berkenaan dengan dengan persoalan mana yang baik, bekerja (kasab) atau tawakkal dengan meninggalkan bekerja. Maka, sebagian ulama berpendapat lebih utama bekerja, yaitu berusaha untuk mencari nafkah, seperti dagang, bertani, atau menjadi tukang jahit. Sebab, kalau orang bekerja, ia tidak mengharap kepada sesuatu yang menjadi hak orang lain, dan tidak merendahkan diri kepada orang lain, bahkan dapat melapangkan hidup hamba-hamba Tuhan dengan sedekah dan menjalin tali persaudaraan atau siaturrahmi.

Sebagian ulama yang lain berkata, bahwa lebih baik tawakkal dengan meninggalkan kerja, kemudian melulu hanya menyandarkan diri kepada Allah, tanpa melihat hukum sebab-akibat. Dengan tawakkal orang dapat meninggalkan urusan dunia dan menjauhi kecintaan kepada dunia serta melepaskan diri dari pergaulan dengan kalangan hidup duniawi, sekaligus terbebas dari godaan harta dan godaan mencari rezeki. Sebab dunia ini, yang halal akan dikenakan perhitungan dan yang haram dikenakan azab. Dikatakan dalam sebuah hadits, “Barang siapa semata-mata hanya mengharap Allah dan tidak mengharap kepada lain-Nya, maka Allah akan mencukupkan seluruh kebutuhannya dan memberi rezeki dari arah yang tidak terduga. Dan barangsiapa mengharap dunia maka Allah akan menyerahkan orang itu kepada dunia.”

Melanjutkan kontroversi di atas, Kiai Saleh Darat menyebutkan, pada bagian berikutnya, pendapat yang disebutnya rajih (unggul). Menariknya, pada tingkat pendapat rajihpun – yang biasanya sudah final – ketersediaan pilihan-pilihanpun masih sangat tampak, fleksibel. Dijelaskannya,

“Apapun menurut pendapat yang unggul, masalah itu harus dilihat secara rinci bagaimana pandangan para ulama yang telah mencapai bukti kebenaran. Hasil rincian itu ialah bahwa kerja dan tawakkal itu bermacam-macam, sebab manusia bermacam-macam. Seseorang yang sanggup berlaku sabar ketika mengalami kesulitan dalam nafkahnya dan mampu untuk tidak berharap kepada orang lain, serta tidak meminta-minta, dan tidak merasa benci kepada takdir Tuhan dengan kemiskinannya, baginya lebih baik bertawakkal. Sebaliknya, seorang yang tidak bisa sabar seperti itu, maka bekerja adalah lebih baik, sebab jangan sampai ia jatuh pada lembah kemurkaan Tuhan karena tidak bisa menerima takdir Tuhan dengan kemiskinannya. Maka adakalanya justru wajib bekerja atas orang itu, apalagi pada jaman sekarang. Semua perselisihan itu timbul karena adanya pendapat bahwa bekerja itu merusak tawakkal, sehingga jika seseorang bekerja mencari nafkah maka ia sudah tidak bertawakkal lagi namanya.”

Pada akhirnya, mungkin kita sendiri terkejut, sebagai pembaca, akan sedikit terkejut – karena ada sesuatu yang terjadi di luar common sense kita. Dalam Kitab Kuning, yang pada umumnya dianggap sangat memberi peluang berkembangnya sikap fatalistik karena, antara lain, konsep tawakkal itu, Kiai Saleh Darat tidak berhenti pada uraian di atas; ia berpandangan:

“Adapun menurut pendapat umumnya ulama yang telah mencapai bukti kebenaran, maka tawakkal itu tidak menghilangkan kerja. Jadi ada orang yang bekerja sambil tawakkal, dan tidak batal tawakkal karena bekerja, sama sekali tidak. Sebab arti tawakkal itu ialah percaya kepada Allah SWT dan berpegang kepada-Nya, meskipun dengan menempuh berbagai jalan bekerja. Pendeknya, jaman ini lebih baik bekerja, malah wajib bekerja, sebab keimanan dan keislaman seseorang tidak sempurna tanpa harta. Sebuah hadits dari riwayat Sayyidina Anas r.a menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baiknya penunjang untuk bertaqwa kepada Allah adalah harta.” Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya kemiskinan untuk para sahabatku adalah kebahagiaan, sesungguhnya kekayaan bagi seorang yang beriman di akhir jaman itu adalah kebahagiaan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Jabir. Dan sabda Nabi Muhammad SAW lagi, “Kemuliaan seseorang yang beriman ialah kemandiriannya dari orang lain.”

Kutipan di atas mungkin terlalu panjang, tapi itu hanyalah contoh ‘kecil’ yang memperlihatkan bahwa dalam ontologi Kitab Kuning sebetulnya terdapat segi-segi dinamis. Kita mungkin akan lebih memahami segi-segi seperti itu setelah mengamati variasi Kitab Kuning yang beredar di lingkungan pesantren, mulai dari bidang bahasa Arab, fiqh dan ushul al fiqh, tawhid, tafsir, hadits, akhlaq, tasawwuf, tarikh, sampai dengan bidang-bidang amaliyah.

Kamis, 16 April 2009

KITAB KUNING DAN PERANNYA DI PESANTREN


Pada umumnya, pesantren dipandang sebagai sebuah subkultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut ‘kaca mata’ umum, modern. Di samping faktor kepemimpinan Kyai, Kitab Kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik sub kultur tersebut. Selain sebagai pedoman tata cara keberagamaan, Kitab Kuning difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam mensikapi segala tantangan kehidupan. Ketika Kitab Kuning digunakan secara permanen, dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung.

Yang menarik untuk diamati adalah mengapa harus Kitab Kuning yang dijadikan referensi turun temurun itu? Dan bagaimanakah pesantren memperlakukan Kitab Kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan mengenai hal ini mungkin akan mendorong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental: bukankah semestinya Al Qur’an dan Al Hadits yang menjadi referensi mereka?

Dari kalangan pesantren sendiri sejauh ini, sebetulnya belum ada pertanggung jawaban filosofis (argumentatif) yang utuh, dalam pengertian modern, mengenai penempatan Kitab Kuning sebagai referensi nilai-nilai universal mereka. Belakangan memang ada usaha-usaha penjelasan dari mereka, misalnya dari Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Masdar F. Mas’udi, Sahal Mahfudz, Tolhah Hasan, Chozin Chumaedi dan A Malik Madani lewat berbagai tulisan mereka. Namun, penjelasan mengandung unsur kritis dan evaluatif, jadi keberadaan mereka lebih dianggap mewakili penjelasan kalangan pesantren pembaharu. Terlepas dari anggapan ini, nampaknya memang masih perlu dilakukan kajian yang lebih serius untuk memahami paradigma sebenarnya yang ada di balik pemeliharaan dan pengajaran Kitab Kuning yang permanen itu.

Alasan pemilihan Kitab Kuning mungkin bisa dirumuskan, antara lain, dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi intelektual Islam Nusantara yang pernah kita bahas. Sejak periode paling dini, bersamaan dengan proses internasionalisasi – yang berarti Arabisasi – dokumentasi mengenai ajaran-ajaran Islam selalu dilakukan dalam bahasa Arab, paling tidak dengan menggunakan huruf Arab. Arabisasi seperti itu tidak lain menempatkan ‘keislaman’ di Indonesia selalu dalam konteks universal. Proses seperti ini terus berlanjut – sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasa di Nusantara - , dan pesantren tampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren dalam tekanan kekuatan asing, dan ia melakukan gerakan defensif non-kooperatif. Pemasok utama nilai dan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam situasi seperti itu adalah Kitab Kuning yang sudah beredar sangat luas di lingkungan mereka. Kalaupun ada pasokan baru – dan ini sangat banyak ketika alumni Timur Tengah kembali ke Indonesia – prosesnya tetap harus mempertimbangkan standar Kitab Kuning yang sudah menyebar itu, kecuali setelah terbukanya kembali hubungan pesantren dengan ‘dunia umum’, sejak kira-kira tiga dasawarsa yang lalu.

Mas’udi mencoba melihat masalah ini dari sudut lain, yang lebih inherent dalam kehidupan pesantren, yaitu berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren mengenai ‘ilmu’. Bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan pengalihan, pemwarisan, transmisi, bukan sesuatu yang bisa diciptakan, created. Dalam salah satu Kitab Kuning yang menjadi pedoman belajar kalangan pesantren, Ta’lim al Muta’allim Tariq al-Ta’allum, diajarkan bahwa “Ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal (guru/kyai), karena mereka itu telah menghafal bagian yang paling baik dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari yang pernah mereka hafal.”

Di kalangan pesantren memang diakui ‘cara lain’ untuk memperoleh ilmu – jadi tidak hanya dengan cara transmisi seperti itu. Namun demikian, ‘cara lain’ yang dimaksud bukanlah cara yang lebih rasional (nalar) melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu, identik dengan proses pewahyuan. Kalangan pesantren menyebutnya sebagai ilmu ladunni.

Bagi masyarakat pesantren, dengan demikian, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sacred. Tidak boleh spekulatif, akal-akalan. Puncak dari pandangan ini, ilmu dianggap wahyu tersendiri, atau, paling tidak, ia hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya bisa ‘dimonopoli’ oleh Nabi, ilmu juga diyakini hanya bisa dikuasai oleh ilmuwan, ulama. Pandangan mereka seperti itu nampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hadits, “al ulama warasat al anbiya”. Dengan pandangan keilmuan yang demikian ketat, tidak dinamis, maka pengajaran dan pendidikan yang berlangsung selalu merupakan pengulangan sebatas ‘kata-kata’ ulama. Ada dua konsekuensi yang saling terkait karena hal ini:
Pertama, keseragaman akan dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalau saja terjadi perbedaan, maka perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam pengungkapannya saja…Kedua, kitab sebagai karya ulama (terdahulu) yang memberikan keterangan langsung terhadap kata-kata wahyu adalah sentral, sedangkan Kyai yang memberikan keterangan atas kitab itu adalah subordinat, atau sekadar alat untuknya (tidak berhak mengevaluasinya).

Dalam jangkauan sejarah yang lebih luas, pendapat van Bruinessen, yang selaras dengan pandangan Mas’udi di atas, tampaknya cukup penting untuk dicatat. Menurutnya Kitab Kuning yang berkembang di Indonesia pada dasarnya merupakan hasil pemikiran ulama abad pertengahan, mulai abad ke-10 M hingga abad ke-15 M. Tradisi keilmuan yang berkembang pada masa-masa itu bertolak dari pandangan keilmuan yang sangat ketat; ‘dalam tradisi [intelektual] abad pertengahan, semua ilmu pada dasarnya sudah merupakan sistem pengetahuan yang pasti”. Gagasan untuk menyempurnakan siste ilmu pengetahuan dianggap sesuatu yang menyimpang dan mengaburkan. Van Bruinessen kemudian merujuk pandangan Aziz al-Azmih yang meneliti dasar-dasar metafisika pemikiran Arab. Ia akhirnya menyimpulkan:
“Jadi, karya mengenai topik apapun hadir dalam tujuh bentuk: kompilasi yang tidak komplit, koreksi atas kesalahan-kesalahan teks, penjelas terhadap masalah yang samar, peringkasan dari teks panjang, pengumpulan teks yang terpisah-pisah, perapihan susunan bahan yang kurang teratur, dan pengambilan/pencuplikan kesimpulan.”
Beberapa alasan di atas nampaknya cukup untuk sekadar memahami penempatan Kitab Kuning yang begitu penting di dalam sistem keilmuan pesantren. Namun, bagi sebagian kalangan pesantren sendiri, alasan-alasan seperti itu mungkin akan dianggap kurang idealis. Mungkin juga terkesan bahwa Kitab Kuning dalam konteks perlembangan pemikiran keislaman di Indonesia sejauh alasan-alasan di atas bernilai statis. Bukankah dalam kenyataannya Nusantara/Indonesia adalah wilayah ‘pinggiran’ dalam peta peradaban Islam, sehingga kehadiran dan perkembangan Kitab Kuning itu sendiri dapat diartikan sebagai faktor dinamis? Paling tidak dalam proses pengayaan pengetahuan ajaran-ajaran Islam, tidakkah Kitab Kuning di pesantren menjadi sangat signifikan? Dalam kaitan ini, Ali Yafie memberikan pandangannya:
“ Peran kitab tersebut (Kitab Kuning) sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran/pendidikan pesantren adalah sedemikian pentingnya dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektualitas dan moralitas kesalehan (kualitas keberagamaan) pada diri peserta didik (thalib/santri).

Dengan beberapa catatan, Abdurrahman Wahid mempertimbangkan segi dinamis perkembangan Kitab Kuning di pesantren. Menurutnya, Kitab Kuning merupakan faktor penting dalam pembentukan tradisi keilmuan yang fiqh-sufistik yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu adabnya (humanistik) Tanpa Kitab Kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi ekstrim dan fiqh ekstrim. Apa yang dicapai oleh Kyai Ihsan Jampes melalui karya-karyanya, Siraj al Thalibin dan Manahij al Imdad, yang masing-masing merupakan komentar atas Minhaj al Abidin dan Iryad al Ibad, merupakan contoh prestasi intelektual yang mengandalkan Kitab Kuning. “Dalam Manahij al Imdad ini, sekali lagi, terbukti kemampuan ulama di pesantren untuk mengkombinasikan antara kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama secara tuntas, di samping mengamalkan tasawwuf secara tuntas pula.” Masalahnya mungkin adalah pesantren dituntut untuk melakukan kreasi baru dan mentransformasikan Kitab Kuning sejalan dengan kecenderungan intelektual modern.

Dengan demikian, kita melihat ada dua pandangan mengenai posisi dan signifikansi Kitab Kuning di pesantren. Pertama, dan mungkin yang paling kuat, kebenaran Kitab Kuning bagi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa Kitab Kuning ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa Kitab Kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab Kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan bersandar pada Al Qur’an dan al Hadits. Menjadikan Kitab Kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan kedua sumber itu – tetapi pada hakekatnya justru mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua Kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan kesan bahwa al Qur’an dan al Hadits tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara yang paling aman untuk memahami kedua sumber itu – agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri – adalah dengan mempelajari dan mengikuti Kitab Kuning. Sebab kandungan Kitab Kuning merupakan penjelasan dan ‘pengejawantahan’ yang siap pakai, dan rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari al Quran dan al Hadits, yang dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang.

Pandangan kedua – yang mulai muncul dalam tiga dasawarsa terakhir – adalah bahwa Kitab Kuning penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampu merumuskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, al Qur’an dan al Hadits. Kitab Kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam. Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, maka pemeliharaan bahkan pengayaan Kitab Kuning harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan itu adalah penanganan Kitab Kuning dalam lapangan dan masa yang luas, termasuk yang lahir belakangan, al kutub al ashriyyah. Hanya dengan penguasaan Kitab Kuning seperti itulah, kreasi pemikiran keislaman yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.

Selasa, 14 April 2009

KITAB KUNING DAN TRADISI INTELEKTUAL ISLAM NUSANTARA (2)

Kemudian, muncul gelombang keempat yang menerima pengaruh kuat dari gelombang ketiga. Kristalisasi norma-norma dalam bentuk fiqh, ditambah dan instititusionalisasi sufistik, yang berhasil diberlakukan dalam wilayah (umat) yang sangat luas, harus berhadapan dengan “keraton” yang cenderung dalam kungkungan penuh dominasi asing, kafir. Ketegangan tidak bisa terelakkan antara ulama dan penguasa, dan antara pesantren dengan keraton. Disintegrasi ini pada dasarnya mencerminkan “kebangkrutan” politik (kekuasaan) Islam, dan situasi inilah yang memacu upaya penerjamahan pengalaman observasi politik ke dalam pemikiran dan kegiatan keagamaan. Termasuk dalam bagian dari pengalaman dan observasi ini adalah gerakan “pan Islamisme” yang berupaya mewujudkan komunitas politik Islam dalam skala global.

Percobaan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi perjuangan politik versus Barat dan “kraton”, dengan demikian telah menjadi perhatian utama gelombang ini.

Ujung dari perjuangan untuk mengentaskan kembali “Islam” dari keterjajahan adalah, antara lain, lahirnya gerakan “reformis yang modern”, yang menandai munculnya gelombang kelima – gelombang terakhir dalam sketsa Abdullah. Berkembang dalam kompleksitas masyarakat dan dalam ketersediaan media cetak, gelombang ini digerakkan oleh dua hal: pertama, lahirnya organisasi-organisasi sukarela yang berdiri di atas kesamaan kecenderungan kultural-agama dan aspirasi sosial; dan kedua, tersedianya media cetak – di samping media oral – yang berfungsi menyebarkan pandangan dan pemikiran keagamaan.

Sistematisasi gerakan Islam tidak saja terjadi dalam lingkup instrumental, lembaga, tetapi juga dalam lingkup konsep, gagasan. Ketersediaan media cetak – sebagai salah satu instrumen komunikasi – misalnya, sekaligus bisa mendorong lebih luas penyebaran karya-karya terjemahan, yang ikut menyulut semangat keagamaan, terutama pada masa pasca kemerdekaan. Perkembangan Kitab Kuning secara massal di pesantren juga didukung oleh situasi seperti ini.

Beberapa catatan mungkin bisa dibuat dari sketsa Abdullah di atas. Pertama, akar terdalam dari tradisi intelektual Islam di Indonesia nampaknya adalah pemikiran sufisme yang, sayangnya, tidak mencapai perkembangan terjauhnya dalam wujud wacana-wacana intelektual, melainkan lebih dalam wujud perilaku-perilaku moral, thariqah, tasawwuf amaliyah. Dengan demikian, tasawwuf yang berkembang di Indonesia, bahkan sampai dewasa ini, termasuk di pesantren, adalah tasawwuf yang sudah kehilangan dimensi filosofisnya, tasawwuf yang sudah “mati”.

Kemudian, salah satu fase terpenting dalam perkembangan intelektual Islam di Indonesia adalah ketika dilakukan intensifikasi pemikiran dan gerakan ortodoksi yang mungkin mencapai momentumnya – seperti terekam dalam catatan sejarah selama ini – pada akhir abad ke-19 M. Dalam sejarah Islam, ortodoksi itu sendiri – menurut beberapa pengamat – sebetulnya sudah dirumuskan pada abad ke-11 M ketika Al Ghazali mensintesiskan pemikiran Islam “ultra tradisionalis” yang berkembang di bawah pengaruh Ahmad bin Hanbal, dengan pemikiran “ultra rasionalis” yang menerima pengaruh pemikiran Hellenisme.

Sementara ortodoksi yang berkembang di Indonesia agaknya lebih cenderung ekpada ortodoksi yang berasal dari gerakan Wahabi, suatu gerakan “neo ultratradisionalis”, yang kurang (tidak) memberi tempat bagi filsafat, aql dalam pemikiran keagamaan. Artinya, ortodoksi yang berkembang di Indonesia pun adalah ortodoksi yang sudah dijinakkan sisi filosofisnya, ortodoksi yang “mati”. Dengan demikian, jelas pergulatan yang terjadi antara tassawuf dengan ajaran ortodoksi dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia pada dasarnya adalah pertarungan dua gerakan yang sama-sama sudah kehilangan dimensi rasionalitasnya.

KITAB KUNING DAN TRADISI INTELEKTUAL ISLAM NUSANTARA (1)


Sejauh bukti-bukti historis yang tersedia, bisa dikatakan bahwa Kitab Kuning menjadi buku teks atau referensi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang ini, bermula pada abad 18 M. Bahkan cukup realistik juga memperkirakan pengajaran Kitab Kuning secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M, ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari belajarnya di Mekkah.

Namun realitas ini tidak berarti Kitab Kuning, sebagai produk intelektual, belum ada pada masa-masa awal perkembangan keilmuan Islam di Nusantara. Sejarah mencatat, paling tidak, sejak abad ke-16 M, sejumlah Kitab Kuning, baik dengan menggunakan Bahasa Arab, Melayu maupun Jawi, sudah beredar dan menjadi bahan informasi serta kajian mengenai Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karakter dan corak keilmuan yang dicerminkan Kitab Kuning bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang panjang – kira-kira sejak lima abad sebelum pembakuan Kitab Kuning di pesantren-pesantren.

Kita juga bisa mengajukan pertanyaan, mengapa, misalnya, hanya fiqh, ushul al din, tasawwuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab yang menjadi disiplin ilmu utama di pesantren-pesantren? Tentu saja, jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat dirumuskan secara memuaskan jika mempertimbangkan perkembangan intelektual Islam Nusantara sejak periode awal pembentukannya. Karena itu, pembakuan Kitab Kuning di pesantren sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual Islam Nusantara masa awal.

Ihwal asal-usul dan perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara sejauh ini telah mengundang perhatian sejumlah sarjana dan pengamat yang menekuninya. Di antara mereka, untuk menyebut beberapa nama, adalah Taufik Abdullah, Kuntowijoyo, Martin van Bruinessen, Abdurrahman Wahid, dan Azyumardi Azra.

Walaupun berbeda rumusan – karena perbedaan pendekatan yang digunakan – hasil kajian mereka agaknya memperlihatkan kecenderungan yang sama dalam mempertimbangkan dua faktor penting: [1] kontak ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah, sebagai bagian dari proses internasionalisasi Islam, dan [2] interaksi (ketegangan) budaya Islam dengan budaya lokal, sebagai konsekuensi logis dari proses Islamisasi Nusantara. Kedua faktor ini berperan dalam membentuk dan mewarnai corak keilmuan Islam Nusantara, seperti antara lain tercermin dalam tradisi pendidikan pesantren, khususnya di Jawa.

Taufik Abdullah dalam penelusurannya yang sosio-historis menangkap lima gelombang pemikiran keislaman Nusantara. Gelombang-gelombang itu dimaksudkan sebagai pola hidup keberagamaan (Islam) yang mencerminkan pandangan keislaman yang secara kolektif dan permanen pada masa tertentu, tidak individual dan tidak fragmentaris. Karenanya, terhadap kelima gelombang itu, ia tidak memberikan label yang ketat berkenaan dengan disiplin-disiplin keilmuan – kecuali hanya menyebutkan tekanan-tekanannya saja. Sebaliknya, ia menerangkan perkembangan sikap umat Islam (community) dalam memperlakukan Islam sebagai jalan hidup, termasuk dalam kaitannya dengan kekuasaan.

Gelombang pembentukan pemikiran Islam – yang oleh Abdullah kemudian disebutnya gelombang pertam – baru berlangsung di Nusantara sepanjang abad 13 M sampai dengan abad 16 M. Dari bukti-bukti yang dapat dipercaya, baik dalam bentuk batu nisan di Samudera Pasai, buku-buku sejarah tradisional semisal Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, maupun laporan-laporan pengelana asing, Marco Polo dan Ibnu Batutah, dapat dipastikan bahwa kekuatan Islam sudah hadir pada abad ke-13 M di ujung Pulau Sumatera (Samudera Pasai).

Meskipun demikian, sampai abad ke-14 M kekuasaan itu belum tampil sebagai hegemoni politik yang paling berpengaruh – masih kalah jauh dari kekuasaan Hindu-Budha, Majapahit, yang pada waktu bersamaan telah berdiri di ujung Timur pulau Jawa. Barulah pada pertengahan abad ke-15 M, dan awal abad ke-16 M, kekuasaan Islam memegang hegemoni politik terbesar di Nusantara melalui kerajaan Malaka, yang telah Islam, dengan mendominasi wilayah-wilayah perairan (maritim).

Yang terpenting dari gelombang ini adalah bahwa Islam sudah tampil tidak hanya sebagai agama dan komunitas, akan tetapi juga sudah menjadi nilai kekuatan yang berpengaruh di hadapan tradisi lokal Hindu-Budha. Internalisasi ajaran Islam telah sampai pada tahap yang cukup ekspresif dan demonstratif – Islam dan komunitasnya sudah merasa beda dari non-Islam, kafir, yang telah hadir sebelumnya.

Pada gelombang ini pula, pandangan dan pemikiran keislaman yang berkembang sudah sangat mendasar, seperti menyangkut batas-batas antara dunia dan akhirat, antara dunia kini, yang haq, dan dunia lama, yang kafir. Prinsip-prinsip kosmopolitanisme Islam berarti semenjak gelombang ini sudah mulai diletakkan dengan cara merujukkan kultur umat Islam Nusantara dengan kultur Islam yang universal. Penerjemahan syair-syair pemujaan atas Nabi (barzanji) dan mitos-mitos Islam, baik dari Arab maupun Parsi, ke dalam buku-buku sejarah Melayu – kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Jawa – salah satu capaian intelektual Islam yang penting pada gelombang ini.

Gelombang kedua dimulai sebagai kelanjutan (konsekuensi) dari capaian gelombang pertama. Ajaran Islam, sebagaimana diajarkan teks-teks resmi, terus merambat dalam kehidupan masyarakat luas, menggantikan agama-agama masyarakat (folk religions). Kontemplasi (renungan) yang mempersoalkan kaitan manusia dengan Yang Maha Tinggi dan Abadi dimulai pada gelombang ini. Puncaknya adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani di Sumatera, dan Syeikh Siti Jenar di Jawa, sebelum masing-masing akhirnya dibantai oleh Nuruddin ar-Raniry dan Walisongo.

Semenjak gelombang ini, perumusan yang menyangkut otoritas dan landasan kekuasaan Islam sudah dimasukkan menjadi agenda kerja intelektual. Di Aceh, misalnya, pada tahun 1603 M, Buchari al Jauhari sudah menulis Taj al Salatin (Mahkota Segala Raja), yang merupakan teks teori kenegaraan yang paling awal dan penting di Nusantara. Pandangan yang ditawarkannya selaras dengan teori-teori kenegaraan Sunni Tradisional. Dalam bahasa Abdullah, “peranan Taj al Salatin [adalah] sebagai pemula ke arah terumuskannya ‘ortodoksi kraton’ di Nusantara.”

Penting untuk dicatat bahwa karena observasinya bersifat sosio-historis, umum, Abdullah seringkali gagal menangkap denyut intelektual murni, khususnya berlangsung pada gelombang ini. Misalnya saja, ia tidak menyebut jaringan intelektual antara ulama Indonesia dengan ulama Timur Tengah. Temuan Azyumardi Azra dalam hal ini sangat signifikan, bahwa hubungan guru-murid telah dibangun pada abad ke-17 M di Hijaz antara ulama Timur Tengah, Ahmad al Qushashi dan Ibrahim al Kurani, dengan ulama (murid) Jawi, Abd. Al Rauf al Sinkili. Bahkan lama sebelum itu, masyarakat Mekkah dan Madinah telah mengenal masyarakat “Jawi di Tanah Suci”. Tentu saja, kontak internasional seperti ini menjadi pintu masuk bagi Kitab Kuning asal Timur Tengah yang pada akhirnya memberikan arti tersendiri bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara.

Pada paruh kedua abad ke-18 M, gelombang intelektual yang ketigapun kemudian muncul dalam bentuk intensifikasi penyelarasan keyakinan agama dengan tata kehidupan sosial. Fiqh, hukum-hukum Islam – menggantikan kontemplasi sufistik – menjadi perhatian untuk “memaksa” lebih jauh penyesuaian kecenderungan folk religions ke dalam keharusan Islam, official religion. Setelah benihnya ditanamkan oleh ar-Raniry yang memulai penyebutan Asmaul Husna dalam teks-teks hikayatnya, antara lain Shiratal Mustaqim, yang kemudian diolah ulang oleh Syeikh Arsyad al Banjari, gelombang ini diwarnai antara lain, oleh Wahabisme gerakan Padri dan karya-karya ortodoksi Kemas Fachruddin di Palembang.
Selain itu, gelombang ketiga ini jga diwarnai oleh kecenderungan kuat institusionalisasi pemikiran sufistik dalam bentuk tarekat-tarekat, sebagai kelanjutan dari upaya pengikisan pemikiran sufi yang menyimpang (heterodoks). Dengan kata lain, gelombang intelektual Islam Nusantara sepanjang abad ke-18 M dan ke-19 M menampakkan dua wajah pertentangan (konflik).

Pertama, antara penekanan dan keharusan berlakunya pertimbangan syariah dan fiqh dalam bidang kehidupan sosial dan pribadi, dengan institusionalisasi sufisme. Konflik semacam inilah umpanya, yang terjadi dalam perdebatan antara Syeikh Akhmad dengan para guru tarekat. Kedua, antara kecenderungan guru sufistik dan tarekat yang heterodoks dengan yang ortodoks. Salah satu konflik yang paling intens ialah antara Syattariyah dengan Naqsabandiah.

Yang menarik untuk dicatat karena sangat relevannya dengan kajian ini adalah, bahwa di balik dua pergolakan itu pesantren sedang memasuki proses penyebaran yang cukup cepat. Diakui oleh Abdullah – tanpa menyebut contoh kongkrit – bahwa pada masa itu tradisi pesantren makin kuat dan jaringan guru-murid, yang menjadi landasan kelembagaan, semakin berakar. Pada tahap ini pulalah pembakuan Kitab Kuning mulai terjadi hampir di seluruh pesantren Nusantara. Dengan pengakuan ini, Abdullah tampaknya ingin mengatakan bahwa perkembangan pesantren berkait erat dengan proses pelembagaan tarekat-tarekat dengan warna syariah yang kuat (ortodoks) sebagai bias dari penetrasi gerakan syariah minded yang dilancarkan kelompok puritan.

Dalam posisi seperti itu, tampak bahwa pesantren sangat unik dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan menganggapnya sebagai benteng tarekat, atau sebagai pendukung fiqh, atau sebagai penentang gerakan puritan pembaharuan. Agaknya, peranan sintesis yang dilakukan pesantren di tengah-tengah pergumulan tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu pihak, dan gerakan fiqh versus gerakan tasawwuf di pihak lain.

TENTANG KITAB KUNING


Kitab Kuning adalah simbol tradisi intelektual di lingkungan pesantren. Ia menjadi wahana penyebaran ajaran Islam yang dirumuskan para ulama masa lalu, kepada para pelajar di masa kini. Lantas, sebetulnya apakah yang dimaksud dengan Kitab Kuning itu? Tulisan ini coba membahasnya.

Istilah Kitab Kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar dua dasawarsa yang silam dengan nada yang merendahkan (peyoratif). Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan jaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat. Pada mulanya sangat menyakitkan memang, tapi kemudian nama Kitab Kuning diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan.

Meskipun sebagian besar kalangan pesantren sudah bisa menerimanya, namun masih terdapat sebagian yang lain yang mempersoalkan istilah Kitab Kuning tersebut. Kelompok yang terakhir ini mengusulkan istilah lain yang lebih apresiatif untuk menyebut Kitab Kuning, misalnya dengan nama kitab klasik, al kutub al qadimah.

Sementara yang pengertian yang beredar di kalangan pemerhati masalah kepesantrenan adalah bahwa Kitab Kuning merupakan kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. Mereka memberikan definisi yang lebih rinci bahwa yang termasuk Kitab Kuning adalah kitab-kitab yang: a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia; b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama disebut al kutub al qodimah (kitab-kitab klasik). Sedangkan kategori kedua disebut al kutub al ashriyyah (kitab-kitab modern). Perbedaan yang pertama dari yang kedua, antara lain dicirikan oleh cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan bahasanya yang berat, kalsik dan tanpa syakl (baca: sandangan; fathah, dlammah, kasrah. Apa yang disebut Kitab Kuning pada dasarnya mengacu pada kategori yang pertama, al kutub al qadimah.

Selain nama itu, karena tidak dilengkapi dengan sandangan, Kitab Kuning juga kerap disebut oleh kalangan pesantren sebagai “kitab gundul”, dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, Kitab Kuning itupun tidak luput dari sebutan kitab kuno.

Spesifikasi Kitab Kuning secara umum terletak pada formatnya, yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan di bagian pinggir (margin, baik sebelah kanan maupun kiri), sementara syarh karena penuturannya lebih banyak dan panjang dibandingkan matn, - ia diletakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan Kitab Kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (kuarto).

Ciri khas lainnya terletak pada penjilidannya yang tidak total, artinya tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilihat setiap kelompok halaman (misalnya, setiap 20 halaman), yang secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu Kitab Kuning terdiri dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan itu dibawa terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu saja sebagai bagian yang akan dipelajari bersama sang Kyai.

Selain itu, yang membedakan Kitab Kuning dari yang lainnya adalah metode mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di lingkungan pesantren untuk mempelajari Kitab Kuning: metode sorogan dan metode bandungan. Cara yang pertama, santri membacakan Kitab Kuning di hadapan Kyai dan sang Kyai langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf).

Sedangkan cara kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang Kyai sambil masing-masing memberi catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafy), memiliki cara membaca tersendiri, yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan sharf) yang ketat.

Selain dengan kedua metode di atas, dewasa ini – sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian Kitab Kuning – di lingkungan pesantren telah berkembang metode jalsah (diskusi [kelompok] partisipatoris) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di tingkat kyai atau pengasuh pesantren untuk, antara lain, membahas isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari Kitab Kuning.