Kamis, 30 April 2009

KANDUNGAN DAN KEMUNGKINAN DINAMISASI KITAB KUNING (1)

Kandungan Kitab Kuning yang beredar di kalangan pesantren hingga sekarang memang lebih banyak didominasi bidang fiqih (yurisprudensi, hukum Islam). Akan tetapi, kenyataan ini tidak berarti bahwa tradisi keilmuan yang berkembang di pesantren terbatas apda disiplin fiqh saja. Karena ternyata, dari sekitar 900 judul Kitab Kuning yang beredar di lingkungan pesantren, hanya sekitar 20 % saja yang bersubstansikan fiqh. Sisanya menyangkut disiplin-disiplin ilmu lain, seperti aqidah (ushul al din) berjumlah 17 %, bahasa Arab (nahwu, sarf, balaghah) berjumlah 12 %, hdits berjumlah 8 %, tassawuf berjumlah 7 %, akhlak berjumlah 6 %, pedoman doa (wirid, mujarrabat) berjumlah 5 %, dan karya puji-pujian kenabian (qisas al anbiya, mawlid, manaqib) berjumlah 6 %.

Jika dilakukan peringkasan, maka hanya ada dua disiplin ilmu yang tampak berkembang; fiqh dan tasawwuf, ditambah dengan disiplin ilmu bahasa Arab. Sejajarnya disiplin ilmu bahasa Arab dengan disiplin fiqh dan tasawwuf mengandung arti bahwa tradisi intelektual yang berkembang di pesantren menyaratkan penguasaan bahasa Arab, sebagai ilmu bantu, untuk memahami teks-teks fiqh dan tasawwuf serta disiplin lainnya.

Hal lain yang mungkin terlihat menarik adalah bahwa disiplin tafsir Al Qur’an terlihat tidak memperoleh tempat yang lebih baik di pesantren, paling tidak sejauh laporan Van den Berg. Ia mengatakan bahwa hanya ada satu Kitab Kuning tafsir yang digunakan dalam pendidikan di pesantren, yakni tafsir jalalain.

Dalam perkembangan berikutnya, pesantren memasukkan tambahan disiplin ilmu usul al-fiqh dalam kurikulum pendidikannya. Sungguhpun perkembangan ini merupakan bagian terpenting dari usahanya untuk mengukuhkan kajian fiqh secara mapan. Namun, pada tahap inilah sesungguhnya dinamisasi pemahaman fiqh di pesantren mulai tertanam. Karena dengan Kitab Kuning ushul al-fiqh, tradisi keilmuan pesantren berarti telah memperlengkapi diri dengan perangkat epistemologisnya, manhaj hukum Islam, yang memungkinkan kalangan santri dapat menyelaraskan ketentuan hukum Islam sesuai dengan perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa penyelarasan semacam ini dalam pandangan kalangan pesantren belum merupakan proses ijtihad, mengingat pada prakteknya ia hanya memanfaatkan keluasan pilihan (alternatif, qawl) yang disediakan sejumlah Kitab Kuning fiqh. Demikian ini adalah bagian dari ciri khas Kitab Kuning yang dominan dalam diskursus hukum; ia secara substantif; ia secara substantif menyajikan pandangan-pandangan yang berbeda mengenai masalah tertentu, biasanya tidak keluar dari lingkup empat aliran fiqh (al madzahib al arba’ah). Dalam perspektif inilah, barangkali, tradisi keilmuan pesantren dipandang memiliki kekenyalan (elastisitas) sebagaimana ditunjukkan perilakunya selama ini. Karena itu, dalam menghadapi banyak pilihan, dengan kemampuan ushul al fiqh-nya, kalangan pesantren – dalam pengertian mereka yang terdidik secara matang – lebih bebas mengekspresikan sikap keberagamaannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Ketersediaan pilihan-pilihan itu agaknya tidak terbatas pada bidang fiqh saja. Hal yang sama juga tampak dalam Kitab Kuning tasawwuf, paling tidak sejauh Kitab Kuning yang diteliti Nurcholis Madjid. Dicontohkan bahwa dalam Jawharat a Tauhid karya Ibrahim al Laqqani, yang dijawakan oleh Kiai Saleh Darat, Tarjamah Sabil Al Abid ala Jawharat at Tauhid, dibahas mengenai hubungan kerja (kasab) dengan tawakkal, yang memperlihatkan beda pendapat, kontroversi, seperti berikut:

Berkenaan dengan persoalan mana yang lebih baik, bekerja atau tawakkal, para ulama ahlussunnah wal jama’ah berselisih. Menurut qawl (pendapat) yang rajih (unggul), perkara itu harus diteliti secara rinci apa kiranya yang bisa dipahami dari Kitab para ulama seperti Ihya Ulum al Din dan ar-Risalah al Qusyairiyyah. Maka hendaknya para ulama al muhaqqiqin (yang telah mencapai bukti kebenaran) telah berselisih berkenaan dengan dengan persoalan mana yang baik, bekerja (kasab) atau tawakkal dengan meninggalkan bekerja. Maka, sebagian ulama berpendapat lebih utama bekerja, yaitu berusaha untuk mencari nafkah, seperti dagang, bertani, atau menjadi tukang jahit. Sebab, kalau orang bekerja, ia tidak mengharap kepada sesuatu yang menjadi hak orang lain, dan tidak merendahkan diri kepada orang lain, bahkan dapat melapangkan hidup hamba-hamba Tuhan dengan sedekah dan menjalin tali persaudaraan atau siaturrahmi.

Sebagian ulama yang lain berkata, bahwa lebih baik tawakkal dengan meninggalkan kerja, kemudian melulu hanya menyandarkan diri kepada Allah, tanpa melihat hukum sebab-akibat. Dengan tawakkal orang dapat meninggalkan urusan dunia dan menjauhi kecintaan kepada dunia serta melepaskan diri dari pergaulan dengan kalangan hidup duniawi, sekaligus terbebas dari godaan harta dan godaan mencari rezeki. Sebab dunia ini, yang halal akan dikenakan perhitungan dan yang haram dikenakan azab. Dikatakan dalam sebuah hadits, “Barang siapa semata-mata hanya mengharap Allah dan tidak mengharap kepada lain-Nya, maka Allah akan mencukupkan seluruh kebutuhannya dan memberi rezeki dari arah yang tidak terduga. Dan barangsiapa mengharap dunia maka Allah akan menyerahkan orang itu kepada dunia.”

Melanjutkan kontroversi di atas, Kiai Saleh Darat menyebutkan, pada bagian berikutnya, pendapat yang disebutnya rajih (unggul). Menariknya, pada tingkat pendapat rajihpun – yang biasanya sudah final – ketersediaan pilihan-pilihanpun masih sangat tampak, fleksibel. Dijelaskannya,

“Apapun menurut pendapat yang unggul, masalah itu harus dilihat secara rinci bagaimana pandangan para ulama yang telah mencapai bukti kebenaran. Hasil rincian itu ialah bahwa kerja dan tawakkal itu bermacam-macam, sebab manusia bermacam-macam. Seseorang yang sanggup berlaku sabar ketika mengalami kesulitan dalam nafkahnya dan mampu untuk tidak berharap kepada orang lain, serta tidak meminta-minta, dan tidak merasa benci kepada takdir Tuhan dengan kemiskinannya, baginya lebih baik bertawakkal. Sebaliknya, seorang yang tidak bisa sabar seperti itu, maka bekerja adalah lebih baik, sebab jangan sampai ia jatuh pada lembah kemurkaan Tuhan karena tidak bisa menerima takdir Tuhan dengan kemiskinannya. Maka adakalanya justru wajib bekerja atas orang itu, apalagi pada jaman sekarang. Semua perselisihan itu timbul karena adanya pendapat bahwa bekerja itu merusak tawakkal, sehingga jika seseorang bekerja mencari nafkah maka ia sudah tidak bertawakkal lagi namanya.”

Pada akhirnya, mungkin kita sendiri terkejut, sebagai pembaca, akan sedikit terkejut – karena ada sesuatu yang terjadi di luar common sense kita. Dalam Kitab Kuning, yang pada umumnya dianggap sangat memberi peluang berkembangnya sikap fatalistik karena, antara lain, konsep tawakkal itu, Kiai Saleh Darat tidak berhenti pada uraian di atas; ia berpandangan:

“Adapun menurut pendapat umumnya ulama yang telah mencapai bukti kebenaran, maka tawakkal itu tidak menghilangkan kerja. Jadi ada orang yang bekerja sambil tawakkal, dan tidak batal tawakkal karena bekerja, sama sekali tidak. Sebab arti tawakkal itu ialah percaya kepada Allah SWT dan berpegang kepada-Nya, meskipun dengan menempuh berbagai jalan bekerja. Pendeknya, jaman ini lebih baik bekerja, malah wajib bekerja, sebab keimanan dan keislaman seseorang tidak sempurna tanpa harta. Sebuah hadits dari riwayat Sayyidina Anas r.a menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baiknya penunjang untuk bertaqwa kepada Allah adalah harta.” Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya kemiskinan untuk para sahabatku adalah kebahagiaan, sesungguhnya kekayaan bagi seorang yang beriman di akhir jaman itu adalah kebahagiaan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Jabir. Dan sabda Nabi Muhammad SAW lagi, “Kemuliaan seseorang yang beriman ialah kemandiriannya dari orang lain.”

Kutipan di atas mungkin terlalu panjang, tapi itu hanyalah contoh ‘kecil’ yang memperlihatkan bahwa dalam ontologi Kitab Kuning sebetulnya terdapat segi-segi dinamis. Kita mungkin akan lebih memahami segi-segi seperti itu setelah mengamati variasi Kitab Kuning yang beredar di lingkungan pesantren, mulai dari bidang bahasa Arab, fiqh dan ushul al fiqh, tawhid, tafsir, hadits, akhlaq, tasawwuf, tarikh, sampai dengan bidang-bidang amaliyah.

2 komentar:

  1. cukup membantu infonya,trims....

    BalasHapus
  2. Playtech casino, betway, and more! - DRMCD
    Playtech, betway, and more! playtech 군포 출장마사지 casino, 파주 출장안마 betway, and more! playtech casino, betway, and more! 충주 출장샵 평택 출장안마 playtech casino, betway, and more! playtech casino, 삼척 출장마사지 betway, and more!

    BalasHapus