Selasa, 14 April 2009

KITAB KUNING DAN TRADISI INTELEKTUAL ISLAM NUSANTARA (2)

Kemudian, muncul gelombang keempat yang menerima pengaruh kuat dari gelombang ketiga. Kristalisasi norma-norma dalam bentuk fiqh, ditambah dan instititusionalisasi sufistik, yang berhasil diberlakukan dalam wilayah (umat) yang sangat luas, harus berhadapan dengan “keraton” yang cenderung dalam kungkungan penuh dominasi asing, kafir. Ketegangan tidak bisa terelakkan antara ulama dan penguasa, dan antara pesantren dengan keraton. Disintegrasi ini pada dasarnya mencerminkan “kebangkrutan” politik (kekuasaan) Islam, dan situasi inilah yang memacu upaya penerjamahan pengalaman observasi politik ke dalam pemikiran dan kegiatan keagamaan. Termasuk dalam bagian dari pengalaman dan observasi ini adalah gerakan “pan Islamisme” yang berupaya mewujudkan komunitas politik Islam dalam skala global.

Percobaan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi perjuangan politik versus Barat dan “kraton”, dengan demikian telah menjadi perhatian utama gelombang ini.

Ujung dari perjuangan untuk mengentaskan kembali “Islam” dari keterjajahan adalah, antara lain, lahirnya gerakan “reformis yang modern”, yang menandai munculnya gelombang kelima – gelombang terakhir dalam sketsa Abdullah. Berkembang dalam kompleksitas masyarakat dan dalam ketersediaan media cetak, gelombang ini digerakkan oleh dua hal: pertama, lahirnya organisasi-organisasi sukarela yang berdiri di atas kesamaan kecenderungan kultural-agama dan aspirasi sosial; dan kedua, tersedianya media cetak – di samping media oral – yang berfungsi menyebarkan pandangan dan pemikiran keagamaan.

Sistematisasi gerakan Islam tidak saja terjadi dalam lingkup instrumental, lembaga, tetapi juga dalam lingkup konsep, gagasan. Ketersediaan media cetak – sebagai salah satu instrumen komunikasi – misalnya, sekaligus bisa mendorong lebih luas penyebaran karya-karya terjemahan, yang ikut menyulut semangat keagamaan, terutama pada masa pasca kemerdekaan. Perkembangan Kitab Kuning secara massal di pesantren juga didukung oleh situasi seperti ini.

Beberapa catatan mungkin bisa dibuat dari sketsa Abdullah di atas. Pertama, akar terdalam dari tradisi intelektual Islam di Indonesia nampaknya adalah pemikiran sufisme yang, sayangnya, tidak mencapai perkembangan terjauhnya dalam wujud wacana-wacana intelektual, melainkan lebih dalam wujud perilaku-perilaku moral, thariqah, tasawwuf amaliyah. Dengan demikian, tasawwuf yang berkembang di Indonesia, bahkan sampai dewasa ini, termasuk di pesantren, adalah tasawwuf yang sudah kehilangan dimensi filosofisnya, tasawwuf yang sudah “mati”.

Kemudian, salah satu fase terpenting dalam perkembangan intelektual Islam di Indonesia adalah ketika dilakukan intensifikasi pemikiran dan gerakan ortodoksi yang mungkin mencapai momentumnya – seperti terekam dalam catatan sejarah selama ini – pada akhir abad ke-19 M. Dalam sejarah Islam, ortodoksi itu sendiri – menurut beberapa pengamat – sebetulnya sudah dirumuskan pada abad ke-11 M ketika Al Ghazali mensintesiskan pemikiran Islam “ultra tradisionalis” yang berkembang di bawah pengaruh Ahmad bin Hanbal, dengan pemikiran “ultra rasionalis” yang menerima pengaruh pemikiran Hellenisme.

Sementara ortodoksi yang berkembang di Indonesia agaknya lebih cenderung ekpada ortodoksi yang berasal dari gerakan Wahabi, suatu gerakan “neo ultratradisionalis”, yang kurang (tidak) memberi tempat bagi filsafat, aql dalam pemikiran keagamaan. Artinya, ortodoksi yang berkembang di Indonesia pun adalah ortodoksi yang sudah dijinakkan sisi filosofisnya, ortodoksi yang “mati”. Dengan demikian, jelas pergulatan yang terjadi antara tassawuf dengan ajaran ortodoksi dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia pada dasarnya adalah pertarungan dua gerakan yang sama-sama sudah kehilangan dimensi rasionalitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar