Selasa, 14 April 2009

KITAB KUNING DAN TRADISI INTELEKTUAL ISLAM NUSANTARA (1)


Sejauh bukti-bukti historis yang tersedia, bisa dikatakan bahwa Kitab Kuning menjadi buku teks atau referensi dan kurikulum dalam sistem pendidikan pesantren, seperti yang kita kenal sekarang ini, bermula pada abad 18 M. Bahkan cukup realistik juga memperkirakan pengajaran Kitab Kuning secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-19 M, ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari belajarnya di Mekkah.

Namun realitas ini tidak berarti Kitab Kuning, sebagai produk intelektual, belum ada pada masa-masa awal perkembangan keilmuan Islam di Nusantara. Sejarah mencatat, paling tidak, sejak abad ke-16 M, sejumlah Kitab Kuning, baik dengan menggunakan Bahasa Arab, Melayu maupun Jawi, sudah beredar dan menjadi bahan informasi serta kajian mengenai Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa karakter dan corak keilmuan yang dicerminkan Kitab Kuning bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang panjang – kira-kira sejak lima abad sebelum pembakuan Kitab Kuning di pesantren-pesantren.

Kita juga bisa mengajukan pertanyaan, mengapa, misalnya, hanya fiqh, ushul al din, tasawwuf, tafsir, hadits dan bahasa Arab yang menjadi disiplin ilmu utama di pesantren-pesantren? Tentu saja, jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat dirumuskan secara memuaskan jika mempertimbangkan perkembangan intelektual Islam Nusantara sejak periode awal pembentukannya. Karena itu, pembakuan Kitab Kuning di pesantren sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual Islam Nusantara masa awal.

Ihwal asal-usul dan perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara sejauh ini telah mengundang perhatian sejumlah sarjana dan pengamat yang menekuninya. Di antara mereka, untuk menyebut beberapa nama, adalah Taufik Abdullah, Kuntowijoyo, Martin van Bruinessen, Abdurrahman Wahid, dan Azyumardi Azra.

Walaupun berbeda rumusan – karena perbedaan pendekatan yang digunakan – hasil kajian mereka agaknya memperlihatkan kecenderungan yang sama dalam mempertimbangkan dua faktor penting: [1] kontak ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah, sebagai bagian dari proses internasionalisasi Islam, dan [2] interaksi (ketegangan) budaya Islam dengan budaya lokal, sebagai konsekuensi logis dari proses Islamisasi Nusantara. Kedua faktor ini berperan dalam membentuk dan mewarnai corak keilmuan Islam Nusantara, seperti antara lain tercermin dalam tradisi pendidikan pesantren, khususnya di Jawa.

Taufik Abdullah dalam penelusurannya yang sosio-historis menangkap lima gelombang pemikiran keislaman Nusantara. Gelombang-gelombang itu dimaksudkan sebagai pola hidup keberagamaan (Islam) yang mencerminkan pandangan keislaman yang secara kolektif dan permanen pada masa tertentu, tidak individual dan tidak fragmentaris. Karenanya, terhadap kelima gelombang itu, ia tidak memberikan label yang ketat berkenaan dengan disiplin-disiplin keilmuan – kecuali hanya menyebutkan tekanan-tekanannya saja. Sebaliknya, ia menerangkan perkembangan sikap umat Islam (community) dalam memperlakukan Islam sebagai jalan hidup, termasuk dalam kaitannya dengan kekuasaan.

Gelombang pembentukan pemikiran Islam – yang oleh Abdullah kemudian disebutnya gelombang pertam – baru berlangsung di Nusantara sepanjang abad 13 M sampai dengan abad 16 M. Dari bukti-bukti yang dapat dipercaya, baik dalam bentuk batu nisan di Samudera Pasai, buku-buku sejarah tradisional semisal Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu, maupun laporan-laporan pengelana asing, Marco Polo dan Ibnu Batutah, dapat dipastikan bahwa kekuatan Islam sudah hadir pada abad ke-13 M di ujung Pulau Sumatera (Samudera Pasai).

Meskipun demikian, sampai abad ke-14 M kekuasaan itu belum tampil sebagai hegemoni politik yang paling berpengaruh – masih kalah jauh dari kekuasaan Hindu-Budha, Majapahit, yang pada waktu bersamaan telah berdiri di ujung Timur pulau Jawa. Barulah pada pertengahan abad ke-15 M, dan awal abad ke-16 M, kekuasaan Islam memegang hegemoni politik terbesar di Nusantara melalui kerajaan Malaka, yang telah Islam, dengan mendominasi wilayah-wilayah perairan (maritim).

Yang terpenting dari gelombang ini adalah bahwa Islam sudah tampil tidak hanya sebagai agama dan komunitas, akan tetapi juga sudah menjadi nilai kekuatan yang berpengaruh di hadapan tradisi lokal Hindu-Budha. Internalisasi ajaran Islam telah sampai pada tahap yang cukup ekspresif dan demonstratif – Islam dan komunitasnya sudah merasa beda dari non-Islam, kafir, yang telah hadir sebelumnya.

Pada gelombang ini pula, pandangan dan pemikiran keislaman yang berkembang sudah sangat mendasar, seperti menyangkut batas-batas antara dunia dan akhirat, antara dunia kini, yang haq, dan dunia lama, yang kafir. Prinsip-prinsip kosmopolitanisme Islam berarti semenjak gelombang ini sudah mulai diletakkan dengan cara merujukkan kultur umat Islam Nusantara dengan kultur Islam yang universal. Penerjemahan syair-syair pemujaan atas Nabi (barzanji) dan mitos-mitos Islam, baik dari Arab maupun Parsi, ke dalam buku-buku sejarah Melayu – kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Jawa – salah satu capaian intelektual Islam yang penting pada gelombang ini.

Gelombang kedua dimulai sebagai kelanjutan (konsekuensi) dari capaian gelombang pertama. Ajaran Islam, sebagaimana diajarkan teks-teks resmi, terus merambat dalam kehidupan masyarakat luas, menggantikan agama-agama masyarakat (folk religions). Kontemplasi (renungan) yang mempersoalkan kaitan manusia dengan Yang Maha Tinggi dan Abadi dimulai pada gelombang ini. Puncaknya adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani di Sumatera, dan Syeikh Siti Jenar di Jawa, sebelum masing-masing akhirnya dibantai oleh Nuruddin ar-Raniry dan Walisongo.

Semenjak gelombang ini, perumusan yang menyangkut otoritas dan landasan kekuasaan Islam sudah dimasukkan menjadi agenda kerja intelektual. Di Aceh, misalnya, pada tahun 1603 M, Buchari al Jauhari sudah menulis Taj al Salatin (Mahkota Segala Raja), yang merupakan teks teori kenegaraan yang paling awal dan penting di Nusantara. Pandangan yang ditawarkannya selaras dengan teori-teori kenegaraan Sunni Tradisional. Dalam bahasa Abdullah, “peranan Taj al Salatin [adalah] sebagai pemula ke arah terumuskannya ‘ortodoksi kraton’ di Nusantara.”

Penting untuk dicatat bahwa karena observasinya bersifat sosio-historis, umum, Abdullah seringkali gagal menangkap denyut intelektual murni, khususnya berlangsung pada gelombang ini. Misalnya saja, ia tidak menyebut jaringan intelektual antara ulama Indonesia dengan ulama Timur Tengah. Temuan Azyumardi Azra dalam hal ini sangat signifikan, bahwa hubungan guru-murid telah dibangun pada abad ke-17 M di Hijaz antara ulama Timur Tengah, Ahmad al Qushashi dan Ibrahim al Kurani, dengan ulama (murid) Jawi, Abd. Al Rauf al Sinkili. Bahkan lama sebelum itu, masyarakat Mekkah dan Madinah telah mengenal masyarakat “Jawi di Tanah Suci”. Tentu saja, kontak internasional seperti ini menjadi pintu masuk bagi Kitab Kuning asal Timur Tengah yang pada akhirnya memberikan arti tersendiri bagi perkembangan intelektual Islam di Nusantara.

Pada paruh kedua abad ke-18 M, gelombang intelektual yang ketigapun kemudian muncul dalam bentuk intensifikasi penyelarasan keyakinan agama dengan tata kehidupan sosial. Fiqh, hukum-hukum Islam – menggantikan kontemplasi sufistik – menjadi perhatian untuk “memaksa” lebih jauh penyesuaian kecenderungan folk religions ke dalam keharusan Islam, official religion. Setelah benihnya ditanamkan oleh ar-Raniry yang memulai penyebutan Asmaul Husna dalam teks-teks hikayatnya, antara lain Shiratal Mustaqim, yang kemudian diolah ulang oleh Syeikh Arsyad al Banjari, gelombang ini diwarnai antara lain, oleh Wahabisme gerakan Padri dan karya-karya ortodoksi Kemas Fachruddin di Palembang.
Selain itu, gelombang ketiga ini jga diwarnai oleh kecenderungan kuat institusionalisasi pemikiran sufistik dalam bentuk tarekat-tarekat, sebagai kelanjutan dari upaya pengikisan pemikiran sufi yang menyimpang (heterodoks). Dengan kata lain, gelombang intelektual Islam Nusantara sepanjang abad ke-18 M dan ke-19 M menampakkan dua wajah pertentangan (konflik).

Pertama, antara penekanan dan keharusan berlakunya pertimbangan syariah dan fiqh dalam bidang kehidupan sosial dan pribadi, dengan institusionalisasi sufisme. Konflik semacam inilah umpanya, yang terjadi dalam perdebatan antara Syeikh Akhmad dengan para guru tarekat. Kedua, antara kecenderungan guru sufistik dan tarekat yang heterodoks dengan yang ortodoks. Salah satu konflik yang paling intens ialah antara Syattariyah dengan Naqsabandiah.

Yang menarik untuk dicatat karena sangat relevannya dengan kajian ini adalah, bahwa di balik dua pergolakan itu pesantren sedang memasuki proses penyebaran yang cukup cepat. Diakui oleh Abdullah – tanpa menyebut contoh kongkrit – bahwa pada masa itu tradisi pesantren makin kuat dan jaringan guru-murid, yang menjadi landasan kelembagaan, semakin berakar. Pada tahap ini pulalah pembakuan Kitab Kuning mulai terjadi hampir di seluruh pesantren Nusantara. Dengan pengakuan ini, Abdullah tampaknya ingin mengatakan bahwa perkembangan pesantren berkait erat dengan proses pelembagaan tarekat-tarekat dengan warna syariah yang kuat (ortodoks) sebagai bias dari penetrasi gerakan syariah minded yang dilancarkan kelompok puritan.

Dalam posisi seperti itu, tampak bahwa pesantren sangat unik dan tidak bisa disederhanakan hanya dengan menganggapnya sebagai benteng tarekat, atau sebagai pendukung fiqh, atau sebagai penentang gerakan puritan pembaharuan. Agaknya, peranan sintesis yang dilakukan pesantren di tengah-tengah pergumulan tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu pihak, dan gerakan fiqh versus gerakan tasawwuf di pihak lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar