Senin, 25 Mei 2009

MUNAZARAH


Munazarah adalah forum perdebatan umum yang menguji kekuatan teori dan pandangan seorang ilmuwan. Salah sat kebanggaan seorang ilmuwan (profesor) adalah apabila ia bisa terlibat dalam forum seperti itu; berhadapan dengan ilmuwan-ilmuwan lain. Dalam konteks akademik, dengan demikian, munazarah merupakan bentuk kebebasan bagi setiap pendukung komunitas akademik; baik profesor ataupun mahasiswa; untuk menguji teori-teori yang diajarkan; yang sekaligus melatih keterampilan dialektika dan logika. Dengan kata lain, munazarah, sebagai salah satu metode skolastik, tidak saja berarti cara dalam menyampaikan pandangan, tetapi juga menjadi pola berpikir untuk menyusun pandangan-pandangan itu.

Perkembangan munazarah diawali dengan adanya perbedaan atau pembangkangan (khilaf), yang kemudian mendorong dilangsungkannya pembahasan dan pemecahan dialektika (jadal). Dalam berbagai bidang studi, terutama hukum Islam, faktor-faktor itu selalu muncul dalam proses ijtihad, menuju ijma’ (konsensus) yang diperlukan kalangan awam. Diawali dengan kalangan terakhir ini yang mencari kepastian hukum (mustafti), proses ijtihad dimulai oleh kalangan mufti. Sebelum menentukan pilihannya sendiri (taqlid), mustafti mengumpulkan sebanyak mungkin pendapat para mufti sampai akhirnya ia secara bebas dapat menentukan sikapnya yang sesuai dengan tingkat pemikirannya. Fungsi munazarah dalam konteks ini menjadi forum yang melayani kebutuhan kalangan awam di tengah perbedaan pendapat yang beraneka ragam, untuk menghindari kemungkinan manipulasi kepastian hukum.

Praktek munazarah bisa diselenggarakan di mana saja; di masjid, di istana, atau di lapangan terbuka. Para profesor biasa menyelenggarakan forum munazarah secara teratur dengan mahasiswa dan masyarakat umum. Konon, di istana Harun al Rasyid, Imam Malik dalam lingkaran studinya, melaksanakan munazarah yang menghadapkan mahasiswanya, Utsman bin Isa bin Kinani (meninggal 181/797) dengan Abu Yusuf. Karena kemampuannya, menjelang kepergian Imam Malik, Utsman dipercaya untu menjadi profesor dalamm lingkaran studi milik seorang pemimpin madzhab itu. Munazarah seringkali diselenggarakan dalam rangka latihan untuk mempertajam pemikiran dan membangun argumentasi yang kuat. Dua orang ulama hanafiyah, Abu Abd Allah al Jurani (meninggal 398/1008) dan Abu bakar al Razi (meninggal 370/981), misalnya, biasa menyelenggarakan munazarah bersama. Hal serupa juga dilakukan oleh dua ulama syafiiyah, Ibnu Suraij dan Zahiri Abu Bakar bin Dawud.

Begitu biasa praktek munazarah dalam tradisi intelektual Islam klasik, sehingga banyak peristiwa yang dirayakan dengan melaksanakan bentuk kegiatan ilmiah itu: seperti pada peristiwa kenegaraan, pada saat krisis setelah kepergian sang profesor, dan pada saat pengukuhan profesor baru. Dalam peristiwa itu, banyak ilmuwan besar hadir dan terlibat dengan serius, dan penyelenggaraannya biasa berlangsung dari sore hingga tengah malam. Bagi para mahasiswa, forum-forum seperti itu merupakan kesempatan mengikuti perkembangan keterampilan munazarah itu sendiri, di samping untuk memperluas wawasan pandangan mereka.

Pada suasana panas yang tidak terkendali, munazarah tidak jarang mengarah pada kekacauan dan keributan fisik. Idealnya memang, munazarah dilaksanakan dengan yang setiap pelakunya dapat menghadapi lawan bicaranya dengan berani dan penuh argumentasi. Untuk memberikan ketentuan-ketentuan yang ideal itu, dalam khazanah linteratur klasik banyak karya yang menjelaskan tentang metode perdebatan ini. Al Zarnuji misalnya memasukkan munazarah sebagai salah satu metode dalam belajar dengan beberapa persyaratan; antara lain harus dengan sifat bijak dan dengan pelaku yang memang menguasai ilmu yang diperdebatkan.

Secara umum, munazarah telah menyediakan jalan berpikir bagi kalangan akademik. Setidak-tidaknya ada enam aspek dalam proses munazarah: (1) penguasaan tesis dan tesis balasan, dalam hal ini adalah pendapat-pendapat madzhab yang dianut, juga yang ditentang; (2) penguasaan argumen, atau dalil, yang mendukung pendapatnya; (3) kemampuan untuk menolak argumen lawan; (4) kemampuan untuk memberikan respon atas penolakan dari lawan; (5) penguasaan argumen bayangan dalam kaitannya dengan tesis balasan; dan (6) memberikan respon untuk menolak argumen bayangan lawan. Dalam prakteknya munazarah seperti ini tidak hanya tampak dalam forum-forum lisan, tetapi juga dalam bentuk tulisan, yang dalam proses belajar, para mahasiswa biasa dilatih untuk mencatat semua argumen ayng berkembang dalam munazarah lisan. Dalam literatur-literatur klasik banyak dijumpai penyajian materi ala munazarah ini.

Akhirnya, siginifikansi munazarah sebagai metode skolastik Islam terletak pada fungsinya untuk mendukung pertanggungjawaban kalangan akademik dalam mempublikasikan hasil penelitian dan pemikirannya. Meskipun pada asal muasalnya, perkembangan munazarah merupakan konsekuensi dari masuknya tradisi filsafat Yunani kuno ke dalam bidang kalam, tetapi dalam perkembangan terakhirnya justru memperoleh tempatnya dalam lapangan hukum Islam, sejalan dengan proses pelembagaan pendidikan skolastik yang bentuk tertingginya adalah madrasah. Karena lembaga yang terakhir ini diakui sebagai penghubung tradisi skolastik Islam dengan tradisi skolastik Kristen abad pertengahan yang menjadi dasar peradaban Barat dewasa ini, konsep kebebasan akademik sebagaimana kita kenal sekarang tidak bisa dilepaskan dari tradisi munazarah dalam pendidikan Islam klasik itu. Catatan ini hanyalah merupakan contoh percobaan untuk memahami aspek universal dari tradisi intelektual Islam klasik, yang menunjukkan kontinuitas peradaban dunia, dengan peradaban Islam sebagai salah satu gelombang pentingnya.