Senin, 25 Mei 2009

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN TINGGI ISLAM KLASIK


Pendidikan tinggi Islam klasik, sebagai tempat berkembangnya kebebasan akademik, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori: lembaga pendidikan formal dengan cirinya yang eksklusif dan lembaga sampingan (informal) dengan cirinya yang bebas. Dalam konteks skolastik, kategori pertama sangat berperan dengan madrasah sebagai bentuk kelembagaan tertinggi. Secara umum, pendidikan tinggi Islam, baik kategori pertama maupun kategori kedua, bersifat individual yang memberikan peran sangat besar bagi profesor, termasuk dalam hal penentuan materi dan pemberian ijasah. Hubungannya dengan mahasiswa berlangsung sangat personal, bebas dari intervensi negara dan lembaga. Seorang mahasiswa dapat mencapai tingkat hubungan keilmuan tertentu dengan profesornya sehingga memperoleh kesempatan untuk berdiskusi dan menjelajah dunia keilmuan seluas mungkin. Begitupun hubungan antar mahasiswa berlangsung sangat kompetitif dalam forum-forum diskusi, yang tidak saja merupakan pendalaman materi tetapi juga peningkatan keterampilan berargumentasi.

Salah satu tugas penting profesor, di luar hubungannya dengan mahasiswa, adalah memberikan kuliah umum (pengukuhan) yang di dalamnya meliputi forum perdebatan. Tugas ini, dalam sejarah intelektual Islam klasik, pada mulanya dilakukan oleh ilmuwan yang berkunjung dan singgah di kota tertentu dalam perjalanannya menuju Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji. Di kota itu, ilmuwan tersebut disambut oleh masyarakat setempat dengan membuka halaqoh di masjid, yang secara tidak langsung menguji kemampuan intelektualnya. Dalam forum itu, persoalan-persoalan keagamaan dipertanyakan dan kebebasan diberikan kepada profesor untuk menjawabnya. Dalam konteks komunitas skolastik, tradisi ini kemudian dilaksanakan dalam bentuk kuliah pengukuhan dirinya sebagai profesor pada sebuah institusi (madrasah), yang seringkali mendapat perhatian juga dari kalangan pejabat dan ilmuwan penting.

Mahasiswa, dalam lembaga skolastik Islam klasik, secara hierarkis dapat dibedakan ke dalam dua kelompok: kelompok mutafaqqih yang bersifat undergraduate (sarjana muda) dan faqih. Konsentrasi keilmuan mereka lebih besar diarahkan kepada bidang hukum Islam, sesuai denagn jabatan-jabatan yang pada umumnya ditawarkan pada masa itu. Kepada mahasiswa yang berhasil, diberikan ijasah al tadris wa al ifta. Penting untuk dicatat bahwa studi hukum Islam pada masa klasik, dengan terumuskannya usul al fiqh oleh al Syafi’I, secara implisit meliputi juga unsur teologi yang bersifat yuridis, sebagai alternatif dari ilmu kalam, atau teologi yang bersifat filosofis.

Dalam studi kependidikan Islam klasik, salah satu konsep yang penting untuk dipahami adalah konsep riyasah. Konsep ini berarti kepemimpinan dalam hal keilmuan yang menyulut suasana kompetitif di kalangan intelektual. Keunggulan seorang ilmuwan yang diuji melalui munazarah akan mengangkatnya ke tingkat elit tertinggi komunitas skolastik, secara langsung akan menarik banyak murid dan pengikut. Dalam forum munazarah itu, kehandalan seorang ilmuwan dalam mengajukan pandangan-pandangannya dibuktikan, atau bahkan malah menurunkan tingkat reputasinya karena kalah unggul dengan argumentasi ilmuwan lawannya. Namun demikian, demi riyasah ini, ilmuwan yang ‘jatuh’ masih dapat berusaha memulihkan reputasinya dengan menyelenggarakan munazarah di tempat lain, sampai akhirnya terbukti ia pantas memimpin komunitas intelektual di tempat itu. Tapi yang terpenting dari fenomena ini adalah bahwa komitmen para ilmuwan dalam menyusun argumen untuk mendukung kebenaran yang ditawarkannya melalui forum yang terbuka untuk umum memang menjadi taruhan hidup bagi ilmuwan Islam masa klasik. Untuk mampu eksis dalam komunitasnya, dengan kebanggaannya tersendiri, mereka tidak punya pilihan lain kecuali terus menerus menguji kebenaran ajaran dan menyampaikannya kepada umum, termasuk kepada mahasiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar