Kamis, 14 Mei 2009

AKAR SKOLATISISME ISLAM


Tradisi skolastik dalam sejarah intelektual Islam terbentuk melalui tiga tahap. Pertama adalah tahap penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Pada tahap ini, Dar al Hikmah yang dibangun Khalifah Harun al Rasyid menjadi pusat utamanya, yang sekaligus sebagai pintu masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam tradisi Islam. Tampilnya tokoh-tokoh filosof dan saintis Muslim seperti al Kini, al Farabi, al Khawarizmi dan Ibnu Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang mereka peroleh dari membludaknya literatur-literatur Yunani. Terlebih-lebih, Dar al Hikmah menyediakan juga laboratorium yang dilengkapi peralatan-peralatan penelitian yang sangat canggih pada masanya untuk menguji dan mengembangkan teori-teori saintifik Yunani. Karya ilmuwan-ilmuwan Muslim dalam berbagai bidang filsafat dan sains pada masa penerjamahan ini, baik yang bersifat karya salinan maupun karya orisinal, belakangan, pada abad 12 dan 13 M, menjadi perantara bagi Barat untuk mendalami warisan Yunani kuno.

Kedua, adalah tahap rasionalisasi pemikiran teologi Islam yang mengarah pada peristiwa mihna. Tahap ini merupakan konsekuensi langsung dari perkenalan para teolog Muslim (mutakallimin) dengan tradisi berpikir Yunani kuno, seperti tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles. Secara kongkret, tahap ini ditandai kuatnya pengaruh pemikiran Mu’tazilah terhadap sikap dan pandangan Khalifah pada masa itu, al Makmun (memerintah 813-833 M). Demikian kuat pengaruh itu, sehingga khalifah mengeluarkan kebijaksanaan untuk memberlakukan paham pemikiran Mu’tazilah itu sebagai paham resmi yang harus dianut oleh ummat Islam. Kebijakan pemerintah ini dalam sejarah Islam dikenal dengan nama mihna, yang secara langsung menantang dan menimbulkan perlawanan dari kalangan tradisionalis. Mihma berakhir setelah al Mutawakkil menjadi Khalifah dan menghentikan kebijaksanaan itu, yang sekaligus menandai kemenangan kaum tradisionalis, yang ditokohi Ahman ibn Hanbal dan kemudian al Asy’ari, atas kaum rasionalis.

Tahap ketiga, yang sekaligus kebangkitan dan kemenangan kaum ortodoksi Sunni, adalah tahap terbentuknya 4 aliran (madzhab) dalam hukum Islam pada abad ke-11 M: Aliran hukm Islam sebelum ini bersifat individual dengan sangat banyak; kemudian bersifat geografis, seperti aliran Kufah, Madinah dan Syiriah. Pengkristalan jumlah aliran-aliran itu menjadi empat, yang masih dikenal hingga sekarang, terjadi sebagai kelanjutan dari gerakan kaum tradisionalis dalam ‘menjaga ajaran-ajaran Islam dari pengaruh pemikiran rasional’ yang dibawa oleh filsafat Yunani. Keunggulan kaum tradisionalis pada tahap ini didukung oleh institusi kependidikan madrasah yang tersebar luas di seluruh wilayah kekuasaan Islam.

Dalam tradisi skolastik Islam, madrasah, dengan demikian, menjadi lembaga pendidikan tinggi yang sangat penting. Dari sudut sejarah pendidikan, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari masjid, yang menjadi pusat pendidikan tinggi untuk mempersiapkan ahli-ahli hukum Islam, yang eksklusif bagi setiap madzhab. Dari sudut politik, madrasah adalah media yang sangat efektif untuk memenangkan pengaruh ulama. Sedangkan dari sudut pembentukan ortodoksi Islam, madrasah mewakili gerakan kaum tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan ajarannya, yang bebas dari pengaruh pemikiran kaum rasionalis, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar